Kamis, 05 Desember 2013

Lukisan Bintang Senja



Malam ini langit begitu gelap nan pekat, tak ada satu pun cahaya yang mampu membuatku diam terpesona. Ribuan bintang yang biasanya menemani malam dengan segala keindahannya, dengan segala bentuknya yang memiliki makna tersirat, kini tak menampakkan wajahnya. Udara malam berhembus cepat, menyapa rambutku yang ikal. Aku menatap hamparan langit nan luas dengan tatapan kosong.
            Namaku Dewa, aku memiliki saudara kembar yang bernama Dewo. Kami sangat berbeda. Mengapa begitu? Karena sejak lahir aku terlahir cacat. Lebih tepatnya lagi cacat mental. Entahlah, mengapa hanya aku yang terlahir cacat sedangkan saudara kembarku sama sekali tidak cacat. Akan tetapi aku bahagia memiliki saudara kembar seperti Dewo, dia begitu menyayangiku dengan tulus. Ia tak pernah malu memiliki saudara kembar sepertiku.
            “Dewa, kamu ngapain di sini sendirian?” Dewo menyapaku sambil mengelus rambut ikalku.
            Percuma, aku ingin menjawab pasti Dewo tidak akan mengerti apa yang aku katakan. Walaupun aku tahu kak Dewo dan ibu adalah orang yang paling mengerti dan memahamiku.
            “Kau tahu Dewa? Aku sangat bahagia dan bangga memiliki saudara kembar sepertimu. Aku tahu kau anak yang hebat, meski mereka menilaimu sebelah mata. Aku tahu kau telah memiliki puluhan karya lukisanmu. Dewa, maafkan aku yang terkadang tidak memahami sinyal yang kau tujukan untukku.” Dewa menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang, ia mendekapku erat.
***
            Usiaku kini sudah lima belas tahun, namun aku masih seperti anak SD. Meskipun aku tahu aku tidaklah seperti Dewo yang tumbuh sebagai remaja yang sangat gagah dan tampan, kecerdasannya yang mampu membuat semua orang yang berada di dekatnya merasa bangga padanya. Aku bangga memiliki saudara kembar seperti dia. Dia yang dengan sabar mengajariku menulis dan membaca. Kini aku pun sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, walau tidak sempurna, tapi aku bersyukur.
            Hari ini adalah hari yang dinantikan Dewo. Ia mengikuti lomba Sains, lebih tepatnya mengikuti lomba Biologi. Ketika Dewo mulai berbicara dan menjelaskan ilmu Biologi itu, semua orang terpana melihatnya. Bukan karena ketampanannya, akan tetapi karena dia yang begitu lihai menjelaskan serta memperagakan apa yang ada di depannya. Ia pun juara satu.
            “Wah Dewo, kamu hebat! Selamat ya, aku salut sama kamu.” Sheina memuji Dewo, perempuan itu sejak SMP memang suka dengan Dewo.
            “Selamat ya Dewo, anakmu hebat sekali Rosa. Dia memang anak yang cerdas, tapi tidak seperti Dewa yang hanya seperti patung.” Ibu Desi memuji Dewo sekaligus menjatuhkanku.
            “Tutup mulut Anda! Dia jauh lebih hebat dari saya, jangan pernah Anda berkata seperti itu.” Dewo membentak bu Desi, salah satu orang tua murid temannya Dewo.
            “Sudah Dewo, kamu tidak perlu emosi. Biarkan orang lain menghina atau memandang Dewa sebelah mata, tapi aku yakin suatu hari nanti Dewa akan menjadi orang hebat. Sama sepertimu.” Ibu menasihatiku.
            “Halah, anak kayak gitu aja diharapin banget. Anak bodoh, cacat, nggak berguna lagi, hidup lagi! Autis.” Kak Selvi berkata kasar di dekat telingaku.
            “Tutup mulut kamu Selvi!” ibu menampar Selvi.
            “Justru kakak yang jauh lebih bodoh dari Dewa! Selama ini memang kakak sudah melakukan apa untuk ibu, untuk keluarga kita? Bukankah selama ini kakak hanya bisa menghamburkan uang untuk kepuasan dan nafsu kakak? Sadar kak, kakak tuh jauh lebih hina daripada Dewa!” bentak Dewo.
            “Cukup! Kalian tidak perlu bertengkar di sini!” ibu membentak Dewo dan kak Selvi. Suasana menjadi hening.
            Aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku bisa merasakan, walau mungkin mereka berfikir aku sama sekali tidak mengerti. Aku ingin berlari secepat mungkin tapi aku tak bisa, seolah ada yang menahan kakiku untuk melangkahkan kaki dan berlari cepat. Aku ingin menangis, tapi untuk apa aku menangis? Aku ingin menjerit, tapi di tenggorakkanku seperti ada yang mengganjal.
***
            Sesampai di rumah ternyata ayah sudah menunggu kami. Lebih tepatnya lagi menunggu Dewo, menunggu berita yang menggembirakan. Lalu apa yang bisa aku banggakan? Entahlah, mungkin Allah sedang mempersiapkan rencana yang jauh lebih indah.
            “Gimana Dewo, kamu berhasil Nak?” tanya ayah penasaran.
            Alhamdulillah Yah, juara satu.” Dewo tersenyum hangat.
            “Wah, selamat ya. Ayah yakin kamu pasti menag.” Ayah menepuk bahu Dewo.
            “Hai, Dewa! Apa yang bisa kamu berikan untuk Ayah? Kamu ini sama sekali tidak berguna di rumah ini, hanya bisa menyusahkan orang lain.” Ayah menatapku tajam..
            “Kenapa Ayah dan kak Selvi nggak pernah bisa nerima Dewa dengan baik? Kenapa kalian selalu saja menghina dan memandang sebelah mata? Akan aku buktikan kepada kalian, bahwa Dewa adalah anak yang hebat. Siapa pun yang menyakiti Dewa, maka aku yang akan melindunginya. Sekalipun itu keluargaku sendiri yang melakukan. Camkan itu!” Dewo membanting buku yang sedari tadi ia pegang, lantas bergegas menuju kamarnya.
            Aku melangkahkan kaki ke taman belakang. Aku rebahkan tubuhku di atas rerumputan yang lembut. Menyaksikan burung-burung camar yang mengepakkan sayapnya sambil menari indah. Menyaksikan warna jingga yang melukiskan senja. Aku bahagia setiap aku melihat ke luar sana. Menyaksikan senja serta menatap hamparan langit yang indah penuh pesona. Itulah caraku untuk melepaskan semua rasa sesak yang aku rasakan, juga untuk tetap bersyukur dengan yang Maha mencintai.
            “Dewo, ibu boleh masuk Nak?” ibu mengetuk pintu kamar Dewo.
            “Kenapa Bu?” tanya Dewo.
            Ibu langsung menghampiri Dewo dan menggenggam erat tangan Dewo.
            “Nak, ibu percaya apa yang tadi kamu ucapkan. Suatu hari nanti pasti Dewa bisa menjadi orang hebat. Kau tahu? Beberapa minggu yang lalu ibu menemukan lukisan yang sangat indah sekali, walau ibu tidak tahu apa maknanya.” Ibu menatap Dewo dengan tatapan mata yang bercahaya.
            “Aku sudah sering melihat lukisan Dewa, Bu. Sejak aku masih SD dia memang sangat suka melukis.” Dewo tersenyum manis.
            “Iya ibu percaya Nak. Di mana Dewa sekarang? Dia nggak ada di kamarnya, ibu kira dia ada di sini.” Ibu menanyakan keberadaan Dewa.
            “Aku juga tidak tahu Bu, coba kita cari keluar. Siapa tahu dia ada di taman belakang, dia sangat suka tiduran di sana Bu.” Dewo mengajak ibu ke taman belakang.
            Sebelum ibu dan Dewo ke taman belakang ia menuju kamarku. Melihat semua lukisan yang kubuat juga tiga puisi yang kubuat. Aku sudah banyak melukiskan tentang sesuatu dan salah satu lukisan yang paling aku sukai ialah lukisan bintang senja, aku juga membuat puisi yang berjudul lukisan bintang senja. Lalu ibu membacakan puisiku yang berjudul lukisan bintang senja.
            Aku melihat warna jingga yang meghamburkan warnanya dengan segala keindahannya, jingga yang menggambarkan lembayung senja penuh kehangatan. Aku menatap hamparan langit luas penuh pesona, menyaksikan ribuan bintang bersinar terang menemani sang malam. Jika aku bisa mengambil bintang itu untuk menemani senja, maka akan kuambil bintang itu dengan tanganku sendiri. Bintang yang menemani senja dengan kehangatannya, sehingga mampu membuat yang memandangya penuh pesona, menatap penuh takjub dan bahagia. Dengan bintang senja semua akan terdiam, semua luka dan duka yang tersimpan dalam lubuk hati akan terhapus tanpa sisa.
            “De.. Dewo baca ini baik-baik.” Ibu memberikan kertas itu kepada Dewo.
            Mereka menangis setelah membaca puisi dan lukisan yang kubuat. Lalu segera menemuiku.
            “Dewo, ternyata kamu di sini.” Ibu dan Dewo mendekapku penuh kehangatan dan kasih sayang.
            “Sayang, kamu hebat. Semua lukisanmu sangatlah indah. Terutama lukisan ini.” Ibu menyodorkan lukisan yang kubuat.
            “Puisimu juga bagus Dewa, sungguh pandai kau dalam bermain kata.” Dewo memelukku erat.
***
            Keesokan harinya ibu dan Dewo mengirimkan lukisan dan puisi yang kubuat melalui media. Semua lukisanku diperlihatkan, dipajang dengan rapi. Semua mata memandang penuh takjub. Dan sehari setelah berlalu, media pun ramai. Bukan ramai karena berita selebritis, tapi karena lukisan yang kubuat. Mereka yang melihat memuji karyaku, dan ada turis yang melihat lukisan bintang senja. Ia tertarik dan ingin membelinya dengan harga yang sangat dahsyat. Juga dengan puisiku, mereka terharu membaca puisiku. Semua saluran televisi menayangkan berita itu. Dunia seolah menjadi milikku. Tapi dunia menjadi milikku seutuhnya ketika aku masih bisa berada di dekat ibu dan Dewo.
            “Kalian lihat kan Yah, Kak. Dewo itu hebat, dan hari ini aku bisa buktikan itu!” Dewa tersenyum bahagia.
            Begitulah kuasa-Nya. Aku tersenyum manis pada lembayung senja yang melukis sore. Aku tersenyum bahagia melihat dedaunan yang melambai-lambai. Aku menatap penuh pesona ketika sang malam ditemani ribuan bintang yang melambangkan senyum kepadaku. Aku merasakan hembusan udara yang begitu lembut dan segar lagi. Aku menyaksikan bunga-bunga indah merekah indah penuh warna lagi wangi semerbak. Aku melihat lukisan bintang senja di langit sana, di temani dengan burung-burung yang mengepakkan sayapnya dengan indah dan begitu lihainya.
***
The End

Selasa, 10 September 2013

Merajut Ukhuwah



Kini kami berada dalam satu organisasi,

dalam lingkaran yang sama.

Merumuskan, memecahkan dan menjalankannya bersama-sama.

Kami meniti jalan, jalan cinta para pejuang.

Di sini kami memadu cinta karena-Nya.

Begitu indah untuk dirasakan, bersemai dengan indah.

Bagai bunga-bunga di taman yang sedang bermekaran

Bunga dengan sejuta warna dan keindahannya.

Ukhuwah Islamiyah,

Itulah yang kami rasakan,

Betapa indahnya, betapa manis untuk dirasakan.

Lebih manis dari madu.

Cinta dan kasih yang terajut dengan lembut dan indah.

Lebih lembut dari sutra, lebih indah dari pelangi.

Kami sadar setiap pohon memiliki ranting dan daun yang saling melengkapi. Kami pun sadar di antara reranting itu ada yang sudah tua dan patah, di antara daun-daun yang hijau dan kuat akan ada daun yang sudah tua dan layu. Dan dedaunan itu pun jatuh berguguran, satu persatu. Setelah daun yang jatuh dan berguguran akan ada pengganti daun yang jauh lebih hijau dan kuat.

Begitulah jalan dakwah, di setiap jalannya ada saja yang berguguran. Kami sadar, jalan ini hanyalah dapat dilalui dengan orang-orang kuat dan tangguh. Kami sadar, hanya orang-orang pilihan Allah yang tetap berada di jalan cinta-Nya. Dan kami sadar, ukhuwah ini kian bersemai dengan indah, berdendang dengan indah menghiasi langit-langit kehidupan kami. Ya, aku mulai mengerti apa makna pershabatan yang sesungguhnya. Ketika aku artikan persahabatan, ini lebih dari itu. Aku sadar, sering kali aku berpikir buruk kepada teman-temanku, sering kali aku tidak sepaham dengan teman-temanku. Tetapi ketika kuartikan lagi apa makna ukhuwah, aku semakin mengerti dan memahaminya. Di saat aku lelah, mereka selalu berusaha memberikan aku semangat, ketika aku mulai menyimpang dari jalan-Nya, mereka mengingatkan dan mengarahkanku. Indah bukan? Aku selama ini inginkan seorang sahabat yang baik, bukan hanya sahabat yang mengingatkan dan membuatku merasa bahagia di dunia saja akan tetapi selalu mengingatkanku dan membuatku merasa bahagia karena nasihatnya. Mereka yang selalu mengingatkanku bahwa surga itu mahal, mereka yang selalu mengingatkanku tentang ayat-ayat cinta-Nya yang maknanya begitu dalam untuk diresapi. Ya, ketika aku mulai merasa jenuh dan bosan mereka berulang-ulang kali mengingatkanku.

“Ingat ya teman-teman! Kita harus ingat apa makna dari surat Muhammad ayat 7”

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Kau tahu apa yang selalu membuatku bahagia? Ketika aku memiliki orang tuaku, keluargu dan juga mereka, sahabat-sahabat tercintaku, sahabat seperjuanganku dan kakak-kakak Rohis. Ketika Allah mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa seperti mereka, sungguh aku bahagia dan bersyukur. Bahkan aku bisa lebih mengenal dan dekat dengan mereka. Sungguh, aku tak pernah membayangkannya, tak pernah sedikit pun terbesit dalam bayanganku, tak pernah sedikit pun aku menerka-nerka. Semua terjadi begitu indah, sungguh indah seindah firman-Nya, sungguh manis semanis cinta kasih-Nya.

Dan aku selau teringat lirik lagu dari nasyid yang bernama Snada yang berjudul Teman Sejati, seperti ini liriknya.

Selama ini kumencari-cari teman yang sejati

Buat menemani perjuangan suci

Bersyukur kini pada-Mu Illahi

Teman yang dicari selama ini telah kutemui

Dengannya di sisi

Perjuangan ini tenang diharungi

Bertambah murni kasih Illahi.


Seperti itulah lirik lagunya, sederhana namun memiliki makna yang begitu dalam dan mampu menyentuh. Ketika di luar sana banyak orang-orang yang sibuk mencari seorang sahabat karena untuk berleha-leha, untuk bersenang-senang dan bermaksiat, di sini Allah pertemukan aku dengan mereka. Aku takkan pernah bisa mendapatkan sahabat seperti mereka, sahabat yang senantiasa menemani perjuangan ini. Hati kami terikat karena ikatan cinta-Nya. Ada satu lagu lagi yang selalu membuatku semangat dalam menjalani hari-hariku, dalam berdakwah. Lagu nasyid dari Izzatul Islam yang berjudul Rabithah.

Sesungguhnya Engkau tahu
Bahwa hati ini telah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syariat dalam kehidupan

Sekali lagi kami sadar, kami tahu di antara kami aka nada yang tumbang dan berguguran di jalan-Nya. Baru setengah jalan mereka menjauh bahkan pergi meninggalkan Rohis, pergi meninggalkan dakwah ini. Akan tetapi kami tetap berada di jalan ini, walau terkadang aku sendiri suka merasa lelah dan ingin menyelesaikannya secepat mungkin. Ingin rasanya aku melepaskan amanah ini, tetapi Allah senantiasa menutup pintu hatiku untuk keluar dari jalan ini. Sedangkan mereka, sahabat-sahabatku senantiasa mengingatkan aku. Tak hanya sahabat-sahabatku saja tetapi kakak-kakak Rohis pun senantiasa memberikan kami semangat juang yang tinggi, senantiasa memberikan tausiyah, nasiha-nasihat yang mampu menenangkan. Tidak, aku tidak akan pernah melupaka mereka, sahabat dan kakak-kakak Rohis seperti mereka. Karena bertemu dan mengenal dengan mereka merupakan sebuah anugerah dari-Nya.

Jumat, 06 September 2013

Ketika Secercah Cahaya itu Datang

Bismillahirrohmanirrohiim.
Mohon maaf untuk kalian yang saya sebutkan namanya dalam sebuah tulisan. Saya akan menuliskan semua nama kalian yang sudah memasuki fase kehidupanku. 

Ketika aku masuk SMAN 58, ketika itu pula aku masuk dalam sebuah lingkaran organisasi. Ya, organisasi itu bernama ROHIS. Sungguh aku bersyukur pada Rabbi Izzati yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang yang shalih dan shalihah.
Allah pun mengubah arahan di hidupku.
Aku merasakan sesuatu yang tak pernah aku rasakan dan dapatkan sebelumnya. Akhirnya setelah aku dan teman-teman selesai menjadi pengurus, aku memiliki mimpi. Mimpi itu kian menghampiriku. 
Kutekadkan niat dalam hati, aku harus bisa!!
Mimpiku itu ialah aku ingin mengaktifkan ROHIS SMP dan SMA BD.
Akhirnya setelah aku selesai UAN dan segala macam, hanya menunggu pengumuman aku niatkan diri untuk ke SMP-ku tercinta.
Aku datang dengan penuh semangat dan optimis. Tak lupa menyebut nama Allah.
Alhamdulillah ketika aku berbicara dengan bu Uswatun dan pak Jupri beliau mengizinkannya.
Saya meminta izin dengan pak Jupri karena beliau selaku pembina Rohis SMA-nya. Lalu bu Uswatun pembina Rohis SMP-nya.
Aku bersyukur karena niatku itu disambut baik.
Awalnya aku baru mencoba ngisi mentoring di SMA. Sekali -tiga kali pertemuan aku shock. Karena lumayan banyak yang datang.
selama satu bulan- 2 bulan mengisi di SMA dan SMP. SMA setiap hari rabu sedangkan SMP hari jumat.
Saat itu pak Jupri meminta tolong mencari ikhwan 58 untuk mengisi di SMA.
Alhamdulillah kak Rahmat bersedia. Tapi aku tidak tahu apakah sudah berjalan atau belum. Tapi ketika aku menanyakan hal itu kalau nggak salah kata ka Rahmat hanya sekali. Aku lupa.
Lalu semakin ke depan semakin dikit yang datang mentoring. Yang awalnya bisa sampai 10-15 akhwat. Tapi menjadi 5, 3, 2. Tapi tak apa, karena mereka masih semangat.
Lalu di SMP aku minta tolong sama temenku yang bernama Arin, Rena, dan Ardi.
Mereka pun bersedia. Sungguh aku bersyukur.
Setelah beberapa bulan kemudian, pengumuman itu datang.
Satu persatu menghampiriku.
Aku bahagia dan bersyukur.
Tapi aku pun sadar tak selamanya mereka bisa membantuku.
Ketika aku datang ke acara Tafakur Alam angkatan 22, aku tumpahkan segalanya di sana.
Ya, aku ingat ketika kami berdoa bersama. Ka Dian yang menjadi pemimpin doa.
Memanjatkan doa dan mimpi kami.
Awalnya suasana begitu ramai oleh tawaan dan candaan, namun setelah aku yang mendapatkan giliran semua diam. Suasana semakin hening dan haru.
"Semoga Allah senantiasa melembutkan hati orang tuaku, semoga aku bisa tetap istiqomah, semoga aku bisaa...." belum sempat aku memanjatkan doaku, aku tak kuasa untuk menahannya, aku pun menangis terisak-isak. Lalu hening memecehkan dinding-dinding kehidupan.
"Semoga aku bisa menghidupkan Rohis SMP BD, walau pun aku tahu nggak bisa seperti Rohis 58, tapi seenggaknya Rohis di SMP bisa ada. Aku mohon bantuan kakak dan teman-teman di sini, aku nggak bisa sendirian." aku pun menangis terisak-isak.
Lalu sang kakak, ka Dian berkata "Ika, kami di sini nggak selalu bisa membantu Ika. Tapi seenggaknya Ika sudah memberikan secercah cahaya untuk SMP Ika. Tetap jalanin ya Dek." Begitulah kiranya, aku tak hapal bagaimana susunan katanya, tapi seperti itulah kiranya.
Setelah beberapa bulan kemudian, pengumuman itu datang.
Satu persatu menghampiriku.
Pertama aku tahu Ardi keterima di IPB, siapa yang tidak bahagia mendengar temannya mendapatkan Universitas favorit.
Lalu kudengar lagi Arin keterima di UNJ, dan Rena kuliah di sebuah Universitas, STIE Ganesha.
Dan aku di UHAMKA.
Oh Allah, bahagia, sedih, sesak semua menjadi satu.
Bahagia karena kami bisa merasakan kuliah.
Sedih karena seiring dengan berjalannya waktu mereka bertiga susah untuk ke BD lagi.
Tapi dulu, ketika kami mengisi dengan percayanya aku mengatakan "InsyaAllah saya akan tetap ada di sini, tetap istiqomah ya Dek." sejujurnya aku ingin menangis, tapi rasanya tidak mungkin aku menangis di depan mereka.
Sampai pada akhirnya aku pun menangis.
Ya, ketika aku ngisi dan hanya aku seorang diri. Tanpa ditemani Rena, Arin dan Ardi.
Ketika aku mengisi lebih banyak ikhwannya, kira-kira 8:2 bahkan 8:1.
Sesak dan sedih rasanya ketika mereka mulai bertanya-tanya tentang ketiga sahabatku.
"Kak Ika, kok ka Arin, Rena dan ka Ardi nggak ngisi lagi sih? Kok kak Ika jadi sendirian sih?"
dan bu Uswatun pun berkata "Mba, ke mana mba Arin, Rena dam mas Ardi? Kok udah nggak pernah ngisi lagi? Oh iya pasti sudah kuliah ya, sibuk."
Lalu di saat Arin dan Rena menemaniku lagi mereka pun senang.
Dan ketika Ardi datang lagi mereka pun senang.
Ya, aku tahu aku tidak selalu bisa mengharapkan mereka semua.
Dan lagi-lagi dan lagi, ketika mereka mulai tak muncul. Mulai pergi lagi, mereka dan bu Uswatun selalu saja menanyakan hal yang sama seperti yang sebelumnya
Oh Allah, rasanya aku ingin menangis. Tapiiiii?
Ya, menangis di hadapan-Mu merupakan hal yang paling jitu.
Aku tahu mereka sudah kuliah begitu pun dengan aku. Tapi mana mungkin aku meninggalkan semua ini? Ketika aku memulainya dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.
Oh Allah, bahkan yang lebih sesak ketika mereka berteriak dan mengatakan.
"Kak Ika, ka Ardi ke mana sih? Sibuk banget apa?"
aku pun menjawab "Iya kak Ardi kuliah Dek, jadi kalau lagi libur aja ke sininya. Lagian sama aja kan mau ngisi kak Ika atau ka Arin atau ka Rena atau ka Ardi?"
Di antara mereka, beberapa ada yang menjawab 
"Enggak ah kak, aku maunya sama ka Ardi aja, enakan sama ka Ardi." 
"Iya kak Ika, ka Ardi itu asyik orangya." Jleeeeeeeeb, Astaghfirullah.
Rasanya aku ingin nangis dan mengatakan "Hai adikku sayang, yang ada di depanmu ini ka Ika bukan ka Ardi. Bisakah kalian kalau setiap kali ada Rohis kalian nggak nanya ka Ardi? Saya yang ada di sini Dek, saya, saya bukan Ardi!" Tapi tidak mungkin aku mengatakan seperti itu.
Lalu aku pun menjawab "Dek, sabar ya. Kalau kak Ardi libur insya Allah ke sini kok. Tenang ajah."
Mungkin memang mereka sudah merasa dekat dan enjoy dengan Ardi.
Dan kau tahu? Waktu itu ada seorang ikhwan yang tumben sekali sms-ku dan menanyakan kabar Rohis SMP-ku.
Awalnya aku senang karena ia katanya ingin mencoba ngisi di SMP-ku, tapi ternyata hanya ucapan saja. Tapi tak apalah, aku masih bisa sendiri.
Waktu itu juga pernah ada yang bertanya tentang Rohis di SMP-ku, ya kakak alumni.
Aku pun sempat koordinasi dengan ka Gilang dan ka Ardi, mereka alumni SMA BD. Yang kutahu, mereka ketika SMA anak Rohis. Tapi karena kami juga memiliki pendapat yang berbeda dan itu yang membuatku tidak "srek"
Tapi sungguh dan sekali lagi. 
Aku tidak membutuhkan sekadar UCAPAN atau JANJI. 
Yang kubutuhkan ialah TINDAKAN. Sampai akhirnya aku tidak pernah lagi koordinasi dengan dua kakak itu, karena aku terlalu lama menunggu mereka. Karena aku nggak bisa yang namanya menunggu, apalagi kalau hal dalam berbuat kebaikan.
Kulupakan semua janji dan ucapan mereka. Walau terkadang dalam hati rasanya ingin sekali ada yang membantu.
Sendiri, ya, lagi dan lagi sendiri
Sendiri ya, lagi dan lagi sendiri untuk menjalankan ini.
Kemarin, yang lalu, ia dan mereka turut membantu.
Tapi, aku sadar dan paham setiap kami punya cerita yang berbeda.
Ya, aku tidak sendiri wahai hati. Allah senantiasa menyinari langkahku.
Entah ini amanah atau bukan, tetapi ini, ya ini harap dan citaku ketika aku masih duduk dibangku SMA.
Ya, ketika kami berdoa.
Ketika seorang kakak shalihah yang memimpin doa.
Menyebutkan satu-persatu impian kami, akulah orang pertama yang menangis terisak-isak.
Hingga suasana yang semula ramai seketika menjadi hening dan haru.
Aku, ya aku yang membuat teman-temanku pun ikut menangis.
Sesak rasanya, 
karena aku belum bisa jadi kakak yang baik.
Mimpi itu, ya mimpi yang tak pernah terhapus dalam memori otakku.
Akan selalu terekam dengan baik dan rapi.
Mimpi itu, tak pernah lekang oleh waktu.
Meski terkadang ia redup, lalu bersinar kembali, lebih terang.
Ketika aku menyebutkan mimpi itu dihadapan mereka, 
sungguh bibirku kaku, tak mampu untuk digerakkan, seakan terekat oleh lem.
Lalu, kucoba merangkai kata.
Akhirnya aku pun mampu melisankannya.
Mereka tercengang, mungkin merasa iba, atau merasa tersentuh. Entahlah.
Lalu, ia sang kakak shaliha itu mengatakan
"Ika, sesungguhnya Ika sudah memberikan secercah sinar. Ika, kakak dan kami di sini memang tidak selalu bisa membantumu, tapi Ika jangan pernah berhenti sampai di sini. Ada Allah."
Begitulah kiranya.
Kusandarkan semua pada Rabbi Izzati.

Kamis, 16 Mei 2013

Utuh Tak Tersentuh

Bismillahirrohmanirrohiim..

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Apa kabar iman kita hari ini? Apa kabar jiwa kita hari ini? Semoga Allah senantiasa menyucikan hati kita, moga Allah senantiasa menguatkan jiwa kita.. Aamiin.
Shalihin, shalihat izinkan saya menuliskan setiap kata yang tertulis. Jemariku gemar sekali bermain indah dengan lentiknya. Tulisan ini kutujukan pada siapa pun, dan teruntuk untuk ia yang lembut hatinya, lebih lembut dari sutra. Ia yang begitu luas cinta dan sayangnya, mampu menghapus dahaga luka dan duka.



Cantik? Siapa yang tidak ingin dibilang cantik? Wanita mana yang tidak ingin terlihat cantik? Kalau boleh jujur saya pun ingin selalu menjadi wanita cantik. Tetapi apakah kecantikan wajah itu akan abadi? Apakah kecantikan wajah itu mampu membahagiakan kita di dunia juga di akhirat? Apakah kecantikan itu hanya untuk memuaskan nafsu bagi mereka yang tidak bisa menjaga pandangannya? atau kecantikan yang jika kita melihatnya kita akan merasa tenang? Entahlah! Aku tak pernah tahu, aku berada di bagian mana? Namun, aku ingin selalu cantik. Cantik dihadapan-Nya, bukan dihadapan manusia yang mampu menyesatkan. Cantik? Aku ingin seperti bunga, bunga yang sedang merekah indah penuh warna. Aku ingin seperti bunga mawar, ia memang terlihat cantik dan mempesona tapi tidak semua dapat menyentuh seenaknya saja. Hanya orang-orang tertentu yang dapat menikmati dan menyentuh kecantikannya. Biarlah mereka menilai aku “tidak cantik”, karena itu hanya pandangan menurut manusia. Justru aku jauh lebih sakit ketika Allah yang Maha mengasihi menganggap jelek. Aku tak pernah ingin selalu cantik dihadapan manusia. Aku tak ingin mengumbar kecantikanku, seperti mengobral barang murahan. Tetapi terkadang aku pun tak menyadari, aku yang masih sering mungkin memakai bedak, memakai wewangian dan memakai bross. Ya, aku tidak munafik. Aku selalu seperti itu ketika berpergian, akan tetapi aku rasa aku tidak berlebihan. Tapi, bagaimana menurut pandangan Allah?


Aku sakit, hatiku bagai teriris dengan pisau belati. Aku sesak, seperti berada dalam ruangan yang tidak ada oksigen. Aku pedih, hatiku bagai terluka karena sembilu. Aku sakit, perih, pedih, sesak, ketika aku melihat seorang wanita yang dengan mudahnya menampakkan kecantikannya. Begitu mudahnya menampakkan auratnya di depan umum. Begitu mudahnya disentuh dengan laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Wahai engkau yang lembut hatinya, kau tahu apa yang membuatmu terlihat anggun dan cantik? Kau terlihat cantik saat kau mengenakan pakaian longgarmu dengan jilbab yang menutupi dadamu. Kau sungguh istimewa wahai perempuan cantik berhati sutera. Kau begitu mahal, bahkan lebih mahal dari lazuardi, dari intan. Kau tiada duanya. Biarkanlah bibirmu basah dengan lantunan ayat-ayat cinta-Nya. Biarlah hatimu putih seputih salju, biarlah hatimu lembut selembut sutera atau bahkan lebih lembut, biarlah hatimu tetap cantik secantik bunga yang sedang merekah. Simpanlah kecantikanmu yang sebenarnya, wahai perempuan cantik berhati sutera. Kecantikanmu akan terpancar dengan sendirinya, kecantikan yang terpancar dari dalam dirimu (hatimu). Kecantikanmu yang terpancar karena iman dan takwamu. Kacantikan yang mampu memberikan ketenangan dan kedamaina, bukan semata untuk memuaskan nafsu bagi kaum Adam.

Aku memang perempuan biasa, yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Tapi kutujukan ini untukmu, wahai perempuan cantik berhati sutera. Bermata bagaikan permata, bersikap bagaikan mentari yang mampu menghangatkan, berbicara bagaikan hembusan udara yang mampu menyejukkan.
Wahai perempuan yang berhati lembut, izinkan aku tuk memaknai "Kecantikan" yang sesungguhnya ya, :))

Jadi seperti ini ceritanya ya,

dulu saat Rasulullah belum diutus oleh Allah anak perempuan itu dihina bahkan jikalau ada bayi perempuan dibunuh. Hem, astaghfirullah serem banget kan? Beruntunglah ketika Rasulullah turun ke bumi, derajat wanita, perempuan, cewek diangkat oleh Allah. Bahkan di Al-Quran pun ada surat yang artinya "Wanita", yaps bener banget tuh. Contohnya pada surat ke-4 surat An-Nisa surat Al-Mujadila, dan ada satu lagi nih. Ada yang tau nggak nih? Ayo coba tebak, kalau bisa tebak nanti aku kasih hati looh. Eh maksudnya coklat yang berbentuk hati, #garing banget ya# :o

Nah yang terakhir ada surat ke-60 yaitu surat Al-Mumtahanah.
Wahai perempuan cantik nan shalihah, kau tahu apa yang paling indah di dunia ini? Menurutku ialah jika aku bisa melihat diriku sendiri, kamu dan kalian menutup aurat, memakai jilbab. Kalau boleh cerita sedikit nih ya dulu di saat aku masih SMP aku pun belum berhijab, kau tahu dulu seperti apa aku dulu? Dulu aku sangat modis, feminim gitulah. Hem, bayangin ajah nih ya aku dulu tuh suka yang namanya pakai jepitan, bando, kuncir setengah, kepang biasa, kepang kelabang. Segala macem aku pakai deh, terus aku paling suka pakai celana jeans. Tapi aku nggak terlalu suka yang ketat banget, karena begah hehe. Selain itu baju aku pun modis, ya karena aku memiliki postur tubuh yang tinggi aku cocok-cocok ajah pakai baju yang seperti apa. Sampai-sampai teman SMP-ku ada yang bilang "Ih Ika, gue suka deh sama badan lo, lo tinggi udah gitu nggak gemuk, ideal" uhuk, uhuk terbang deh. Ya, itu kata temanku yang bernama Lian. Eeeiittss, tapi aku paling ANTI pake make up, bedakan tebal, pakai lipgos, atau apapun itulah namanya seperti teman-temanku kalau sekolah pakai yang kayak gitu, paling kalau pakai bedak, ya bedak b**y.

Ya ya ya, dulu SMP aku sangat modis, bahkan aku pun mengumpulkan bando yang berbagai jenis, mulai dari bahannya sampai motifnya, begitu pun dengan jepitan dan kunciran. Huh pokoknya banyak banget deh aku ngoleksi itu semua. Itu udah kayak jualan ajah, sampai orang tuaku ajah heran kan. "Ngapain coba ngumpulin gituan, mending juga buat beli beras atau nggak ditabung."

Ya tapi karena waktu itu aku suka banget jadi aku nggak terlalu peduli.

Naaaah, singkat cerita nih ya aku mulai berhijab semenjak SMA di kelas sepuluh semester ke-2. Awalnya aku emang udah janji sih sama diriku sendiri dan sama Allah. Karena dulu aku sangat ingin masuk SMAN 58, aku berjanji kalau aku masuk sekolah itu aku akan berjilbab. Ajaibnya lagi nih aku ikut ROHIS, awalnya karena aku bingung kan mau masuk ekskul apa, eh yaudah aku pilih ROHIS aja. Aku dulu juga berpikir kalau masuk ROHIS juga nggak terlalu berat. Apalagi waktu SMP aku juga ikut ROHIS, ya walau pun dulu hanya dapet materi dari guru Agama, itu pun jaraaaaaang bangeeet. #Lebay

Singkat cerita aku mengikuti acara KEPUTRIAN, yaa itu acara hanya untuk yang perempuannya aja. Pokoknya dari KEPUTRIAN, ROHIS aku memiliki banyak teman, ilmu dan pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.

Mau tahu ceritanya nggak nih awal aku berhijab?

Setiap kali aku melihat kakak-kakak Rohis yang perempuan aku merasa tenang sekali, apalagi kalau melihat mereka yang memakai kerudung panjang dengan syar'i. Aku melihat kecantikan yang sesungguhnya, baik dari luar maupun dari dalam.

Nah inilah ceritanya....

Jadi waktu itu ada kakak kelas yang ngirim sms, ternyata kak Ajeng. Aku lupa apa sms-nya tapi yang jelas sungguh sangat menyentuh hatiku. Bahkan sampai menusuk rongga dadaku, ups lebay deh ya. Ya inti sms itu mengajak perempuan shalihah untuk mengulurkan jilbabnya. Dari situlah aku cerita sama kak Ajeng kalau sebenarnya aku mau berhijab, tapi masih ada rasa takut dan nggak kuat. Ya karena secara gitu aku kan orangnya gerahan banget. Tapi kak Ajeng dengan lembutnya dan dengan semangatnya mendukun dan mendoakan aku. Aku pun cerita dengan kak Bibah yang kebetulan saat itu menjadi murabbiku. Ia pun mendukung aku, ia yang meyakinkan aku. Yaiyalah, karena mereka kan jilbabers :D

Akhirnya kuniatkan diri, aku minta izin sama orang tuaku bahwa aku ingin memakai jilbab, tapi kau tahu orang tuaku jawabnya seperti apa?
"Yakin kamu mau pake jilbab, bapak sih takut hati kamu nanti nggak sesuai dengan jilbab kamu."

Lalu aku mencoba meyakinkan bapakku "InsyaAllah nggak akan kayak gitu Pak, Ika akan memperbaiki diri. InsyaAllah."

Lalu seminggu berlalu jawaban itu masih menggantung, akhirnya aku minta izin lagi untuk yang kedua kalinya. Alhamdulillah, mereka mengizinkan aku.

Tapi mamahku bingung, karena kan pasti harus beli seragam lagi. Dan aku ucapkan syukur lagi, kak Bibah memberika seragam putih untukku, masih baru pula. Sedangkan kak Ajeng yang mencari seragam batik dan baju olahraga. Oh Allah, sungguh beruntung aku telah mempertemukan aku dengan mereka.

Naah, untuk perempuan yang sudah memakai jilbab diwajibkan loh untuk menutup auratnya, yuk kita cek.

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur : 31)


"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-ahzab : 59)


"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat." (QS. Al-A'raf)


Naah ada hadits nih, hem cukup menyeramkan untuk kita kaum wanita.

Baca dan perhatikan dengan baik dan jelas ya :)
"Hadits yang mengancam wanita tidak masuk surga karena tidak berjilbab. Rasulullah bersabda: Ada dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapl, mereka memukul manusia dengan cambuknya, dan wanita yang kasiyat (berpakain tapi telanjang baik karena tipis, atau pendek yang tidak menutup semua auratnya), Mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang) kepala mereka seperti punuk onta yang berpunuk dua. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga itu akan didapati dari sekian dan sekian (perjalanan 500 th).. (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421)."


Sedikit cerita yah cantik, dulu ketika aku baru memakai jilbab banyak sekali cobaan dan ujian yang berikan padaku. Apa itu? Heem, banyak banget deh. Pokoknya aku sering diledekin sama teman aku, terutama teman rumah "Hah lu yakin pake jilbab? Haha, nggak percaya gue."
"Emang kenapa nggak suka? Lu ini yang nggak suka, Allah yang kasih hidaya nih." Jawabku.

Sahabat yang baik dan lembut hatinya, mungkin waktu itu aku belum istiqamah memakai jilbabnya. Sampai saat aku ke depan, ke tukang fotocopyan aku ketemu teman SD-ku. Namanya si Tri, ya aku di jalan berpapasan dengan dia. Sepanjang jalan aku menunduk, aku malu. Pasti dia mengenaliku, ya tentu saja dia teman SD dan sekarang di SMA yang sama. Aku malu, pasti ia berpikir ngapain pakai kerudung kalau di sekolah juga, atau ih anak Rohis masa kayak gitu. Atau pemikiran dan pendapat yang tidak aku ketahui. Namun dalam hatiku, kenapa aku malunya sama si Tri? Harusnya aku malu sama Allah dong, Allah pasti bakal kecewa sama aku. Dan aku mulai memperbaiki diri, yang tadinya aku hanya pakai jilbab di sekolah namun aku meniatkan diri kalau aku pergi ke depan aku harus pakai jilbab. Walau ocehan itu terdengar lagi dari teman rumahku, "ya ampun gue kan cuma minta anterin ke depan bentar, lu ngapain sih Ka pake kerudung timbang ke depan doang. Lebay banget sih."

Lalu aku jawab aja dengan tegas "Semua ini udah kewajiban gue sebagai perempuan untuk nutup aurat, lu tuh kalo pake baju jangan ngetat, kurang bahan. Terserah sih kalo nggak mau gue anterin gue juga nggak rugi ini." Aku menjawab ketus, habis cerewet banget.
Seiring berjalannya waktu aku jauh lebih baik, ya mungkin baik menurutku tetapi nggak tahu untuk Allah.

Setelah kelas sebelas, tepatnya saat regenerasi kepengurusan Keputrian Rohis 58 aku terpilih menjadi "Cakaput (Calon Ketua Keputrian". Aku bingung, takut, khawatir, sedih semua bercampur menjadi satu. Bahkan aku sampai menangis, kau mau tahu mengapa aku menangis? Aku menangis karena aku merasa tidak cocok. Ilmu Agamaku masih sangat kurang, bahkan di kelas sepuluh aku pernah remed ulangan agama dua kali, selain itu aku juga tidak terlalu aktif banget. Aku tak menyangka akan dipilih, yang aku kira pasti Arin, Imah dan Rena. Namun ternyata Allah punya rencana yang tak pernah aku duga. Aku pun terus memperbaiki diri, aku mulai mengenakan jilbab di-double. Awalnya emang susah banget, berantakan tapi aku harus bisa!! Tapi saat itu mamahku sempat bertanya "Ngapain sih pake kerudung di-double gitu emang nggak panas apa?"
Dengan santainya aku menjawab "Wah ini model baru Mah, lagi trend nih. Tenang kalo gerah kan bisa kipas-kipas. Hehe."
Ya, mamahku iya iya ajah walau dengan ekspresi wajah yang agak aneh gitu.
Dan lama-lama aku pun mencoba untuk memakai kerudung dengan baik, walau hanya di halaman rumah. Saat itu juga lah konflik terjadi.
“Ka, ambil jemuran sana mau hujan nih.” Mama teriak.
“Iya Ma, sebentar ya.” Aku buru-buru mengambil bergokku.
“Cepetan Ka, nggak tau apa udah mau hujan. Lagian ngapain juga sih pakai kerudung segala? Ribet tau, nanti yang ada pakaiannya basah kena hujan!” Mama membentakku, aku hanya diam saja.
“Tau ngapain sih mau ngambil jemuran aja pakai kerudung segala, fanatik banget! Bapak nggak suka sama orang yang fanatik ya!” sahut Bapak.
Aku hanya diam saja, aku nggak berani mengatakan apapun kepada mama dan bapak. Lalu mama pun semakin curiga dan mengajukan pertanyaan kepadaku. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya, aku menjelaskan dari yang aku pahami.
“Pakai jilbab atau kerudung itu kan wajib Ma, Pak. Ika takut pasti nanti di akhirat semua akan dipertanggungjawabkan.” Aku menjelaskan dengan sangat hati-hati
“Kata siapa wajib? Itu kan cuma sebagai identitas orang islam doang.” Tegas Bapakku.
“Ya Allah Pak, di al-quran ada Pak. Selama nggak menyimpang kenapa nggak boleh?” aku mencoba untuk lebih berani.
“Itu fanatik! Bapak nggak suka kamu kayak gitu, kalau emang mau pake kerudung yaudah nggak apa-apa tapi jangan segitunya!” bapak membentakku.
“Emang siapa sih yang ngajarin? Wah jangan-jangan kamu ikut aliran sesat ya, awas nanti ikut teroris lagi! Atau jangan-jangan kakak kelasnya ada yang pake cadar lagi, jangan macem-macem kamu Ka! Mama nggak suka ya.” Bentak Mama
“Astaghfirullah, Demi Allah Ma, Ika nggak pernah ikut aliran sesat gitu. Nggak ada yang pake cadar, kalau Mama nggak percaya Ika bisa panggil mba Tiwi karena mba Tiwi juga lulusan SMAN 58 dan anak Rohis.” Air mataku membasahi pipi.
“Nggak usah, ngapain juga! Pokoknya kalau di depan rumah, mau nyapu atau ngepel nggak usah pake kerudung segala, gerah dan ribet ngeliatnya! Jangan sampai kamu ikut aliran sesat dan teroris ya, awas aja” ancam mamaku.
“fanatik! Bapak nggak suka kayak gitu ya!”
Aku hanya bisa diam, tak berkata apapun. Hatiku sesak sekali, bagai tak menghirup oksigen. Hatiku sakit sekali bagai ditimpa batu beton. Tapi aku terus berusaha untuk memperjuangkan jilbabku, karena aku mencinta kedua orang tuaku karena Allah. Maka aku pun mencintai jilbabku karena Allah. Seharian aku di kamar, tidak keluar kamar.

                                                                           ***
Setelah kejadian kemarin berlalu, aku mencoba menata hatiku kembali. Berusaha untuk menghargai dan menghormati orang tuaku, tapi aku pun harus menjalankan kewajibanku pada Allah. Menjaga aurat dan pandangan. Seperti biasanya, kalau aku ada di rumah aku menyapu dan mengepel rumah. Aku memakai bergok ketika menyapu. Mama dan bapak lagi-lagi belum menyetujui. Tapi syukurlah tidak parah seperti hari kemarin. Meski aku merasa sangat kecewa.
“Ka, ngapain sih pake kerudung di rumah? Nyapu aja pake kerudung segala, panas ngeliatnya!” sahut mamaku.
“Nggak panas kok Mah, kan Ika yang merasakan.” Aku mencoba lebih tenang.
“Dibilangin ngeyel banget. Temen Mama aja yang anak pesantren nggak segitunya, kalau di rumah juga nggak pake kerudung tuh, kamu repot banget sih.” Mamaku menjawab dengan lantang.
“Tau nih, bapak nggak suka sama orang yang terlalu fanatik! Lagian di rumah doang aja pake kerudung.” Bapak langsung menyambar.
“Sebenarnya Bapak dan Mama mau Ika seperti apa sih? Apa Bapak dan Mama nggak senang, nggak bahagia Ika pakai jilbab? Ma, Pak, Ika bisa aja seperti cewek-cewek yang di luar sana, yang kalau keluar sampai malam dengan pakaian yang serba mini dan ketat. Tapi, Ika nggak mau seperti itu. Ika nggak mau menjadi anak yang tidak punya etika dengan memakai pakaian seperti itu. Semua orang punya prinsip yang berbeda, jangan pernah samakan Ika dengan orang yang di luar sana. Terserah Mama dan Bapak mau berpikir seperti apa, tapi yang jelas Ika sama sekali nggak pernah diajarin untuk menjadi orang yang fanatik, apalagi teroris.” Hampir saja aku meneteskan air mataku, namun aku harus kuat.
Setelah aku berakata seperti itu mama dan bapak diam. Entahlah apa yang sedang mereka pikirkan, aku hanya bisa husnudzon. Berharap dan berdoa semoga Allah yang Maha baik mampu membukakan pintu hati kedua orang tuaku, serta melembutkan hatinya.

Begitulah ceritanya :D

Tapi sekarang Alhamdulillah orang tuaku tidak terlalu mengekangku seperti itu. Walau pun terkadang mereka masih suka ngebahas "Ih kalau di rumah tuh lepas aja kenapa kerudungnya."
Aku menjawab "Tergantung siapa dulu Pak, kalau laki-laki yang bukan mahromnya ya harus pake dong. Hehe."

Untukmu, wahai engkau yang lembut hatinya, dikala tak ada orang yang mampu menenangkanmu, percayalah Allah senantiasa ada di sisi-Mu.
Di saat kau ingin melakukan kebaikan namun mereka tak pernah suka, maka tak perlu khawatir, Allah bersamamu.
Jikalau ada yang mencaci dan menghina, dan tak ada satu pun orang yang percaya dan peduli padamu walau orang tuamu sendiri. Ingatlah, Allah senantiasa peduli padamu.
Wahai engkau yang tatapannya bagai permata, bicaramu bagai udara yang mampu menyejukkan.
Lihatlah dan rasakanlah bahwa Allah sangat dekat denganmu. Ketika kau merasa Allah dekat denganmu, Allah jauh lebih dekat denganmu.
Wahai hati yang mudah terombang-ambing, jika orang tuamu melarangmu untuk berjilbab maka tenangkanlah ia. Jawablah dengan jawaban yang tepat, jika ia masih melarangmu jawab dengan lembut, jawablah bahwa semua ini karena Allah. Maka berilah kata-kata ini :


Wahai, Ayah, Ibu..
aku ingin menjadi anak yang shalehah.
aku ingin menjadi anak yang berbakti padamu.
tidak lupa dengan perintah dan aturan yang telah Allah sampaikan.
Wahai, Ayah, Ibu..
apakah aku salah?
jika aku mengulurkan jilbabku?
Wahai, Ayah, Ibu..
apakah aku salah?
jikalau aku menutup auratku?
apakah aku salah?
jikalau aku menutup auratku, karena aku takut dengan-Nya.
karena aku takut azab-Nya.
Wahai, Ayah, Ibu..
apakah kau tak bahagia jika aku menutup auratku?
menutup perhiasaan yang tak pantas untuk aku umbar kepada lelaki yang bukan menjadi muhrimku?
Wahai, Ayah, Ibu..
apakah aku salah?
jika aku berusaha menjaga pandanganku,
menjaga kehormatan dan kesucianku?
Wahai, Ayah, Ibu..
aku ingin berbakti padamu, tentu dengan segala aturan yang telah Allah sampaikan.
Wahai, Ayah ,Ibu..
aku tahu sering melukai hatimu,
dengan tajamnya kata-kata yang aku keluarkan,
aku tahu sering membuatmu kecewa kerana sikapku,
Wahai, Ayah, Ibu..
sungguh aku tak ingin kau menderita di akhirat nanti,
sungguh aku pun tahu kelak nanti semua ada pertanggung jawabannya,
sungguh aku tahu engkau pun akan mendaptkan siksaan,
karena telah membiarkan anak perempuanmu ini mengumbar auratnya,
aku taku, takut wahai Ibu.
aku tak mau kau merasakan itu.
aku ingin kebahagiaan selalu menyertaimu, di dunia maupun di akhirat.
aku ingin kelak di akhirat nanti, kami berkumpul di jannah-Nya.
Wahai, Ayah, Ibu..
tidak, tidak, tidak..
jangan, jangan, dan janganlah,
kau terus berpikir bahwa anakmu ini mengikuti aliran sesat.
jangan kau berpikir bahwa memakai jilbab tidaklah penting dan bukan sebuah kewajiban.
tidak, jangan kau katakan itu Ayah, Ibu.
jangan pula kau katakan karena dengan sebuah organisai.
tidak ,Ayah, Ibu..
bukan karena organisasi, bukan karena perintah orang lain kepadaku.
tapi karena semua itu perintah Allah.
Allah telah memerintahkan hamba-Nya,
terutama anak perempuan untuk menutup auratnya.
Allah memerintahkan hamba-Nya,
untuk selalu menjaga pandangannya, kehormatan dan kesuciannya.
Allah memerintahkan hamba-Nya,
untuk tetap istiqomah, untuk tetap menjalankan perintah-Nya.
Wahai, Ayah, Ibu..
maafkan aku, aku tak pernah bermaksud untuk memerintahkanmu.
tapi demi Allah, aku hanya ingin mengingatkanmu.
entah itu baik atau buruk.
Wahai, Ayah, Ibu..
kau pun juga berhak menasihatiku jika aku salah,
jika aku lalai,
Wahai, Ayah, Ibu..
aku memang bersyukur memilikimu.
aku sangat bersyukur.
tapi,
Wahai, Ayah, Ibu..
aku juga ingin selalu engkau ingatkan, untuk selalu mengingat-Nya.
untuk selalu mengingatkanku tentang kebaikan.
mengingatkan untuk tetap menjadi manusia yang beriman dan bertakwa.
Wahai, Ayah, Ibu..
cinta kasihmu sangatlah besar kepadaku,
maka izinkanlah aku menjadi anak yang shalelah.
maka izinkanlah aku untuk mencintaiku hijabku,
maka izinkanlah aku untuk selalu menjaga pandanganku dan menjaga sentuhan laki-laki yang bukan mahramku.
maka izinkanlah aku mencintaimu, dengan menjalankan apa yang kau inginkan.
tentu atas izin-Nya, tentu atas aturan-Nya.
Wahai, Ayah, Ibu..
doakanlah saja, semoga anak perempuanmu ini,
bisa menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tua,
agar menjadi anak yang shalehah.
doakanlah saja, semoga anak perempuanmu ini,
kelak akan mendapatkan kebahagiaan atas izin-Nya.
doakanlah saja, semoga anak perempuanmu ini,
akan tetap istiqomah di manapun, kapan pun, apapun aku nantinya.
Wahai, Ayah, Ibu..
dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalehah.
Wahai, Allah..
derai air mata di setiap sujud dan doaku.
Wahai, Allah..
aku berdoa,
aku berharap,
aku memohon,
semoga Kau bukakan pintu hatinya,
semoga Kau lembutkan hatinya,
semoga Kau maafkan kesalahan dan dosa-dosanya,
semoga Kau memberikan kebahagiaan untuknya, di dunia maupun akhirat.
semoga Kau jadikan kami,
manusia yang senantiasa mengingat dan berbakti pada-Mu.
semoga Kau tambahkan iman dan takwa kepada kami, Rabb..
Aamiin

Cantik kau lebih cantik dengan kesederhanaanmu,
kau lebih anggun dengan jilba syar'imu,
kau lebih indah bagai bunga yang sedang merekah,
cantik, tak perlu khawatir dengan penampilanmu.
Tak perlu khawatir, jika kau memakai jilbab syar'i lalu kau pikir tidak ada laki-laki yang menginginkanmu?
Itu salah, itu keliru cantik :)
Justru laki-laki akan menghormatimu, ia akan berharap kan dapatkanmu.
Oh cantik kau seperti mutiara yang terjaga,
tak seorang pun dapat menyentuhmu, kecuali pada pemiliknya.
Hai cantik, kau lebih cantik dengan jilbabmu.
Kau tahu cantik?
Kau lebih cantik dari mereka yang berdandan berlebihan, kau sungguh lebih anggun dengan kesederhanaanmu.
Wahai engkau yang berjiwa lembut,
coba kau tatap wajahmu, lalu kau ambil jilbab itu, setelah itu kau pakai.
Lihat dan perhatikanlah! Oh, MasyaAllah kau sungguh lebih cantik.
Allahuakbar, auramu lebih terlihat.
Oh cantik, rasakan dan resapilah kau akan tenang dengan jilbab indahmu.
Cantik, kau cantik, cantik.
Jagalah kecantikanmu.
Kau lebih indah dari pelangi,
kau lebih harum dari kasturi,
kau lebih bersinar daripada bintang.
Untukmu wahai perempuan cantik berhati lembut.

Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat untuk aku, kamu, dan kalian :)