Minggu, 06 November 2016

Rantang Semur Jengkol Beraroma Penyesalan

Lidah tidak pernah bisa membohongi rasa yang dibuat dari seorang perempuan: ibu. Bumbu-bumbunya masuk dengan racikan-racikan istimewa, membuat yang menikmati ingin terus mengecap masakan beraroma sedap. Rasa sedap tercipta dari tangan yang lihai menyajikan hidangan dengan rasa tulus, menghadirkan benih-benih rindu yang tak tergantikan ketika lidah tak lagi mampu mencicipi. 
Masakan perempuan baya itu tak pernah luput dari ingatanku. Seringkali ia datang ke rumahku, dengan senyum ringan, dan tatapan ramah. Membawa rantang yang berisikan semur jengkol.
Nak, ini ibu buatkan semur jengkol untukmu. Semoga kamu suka ya, ibu itu tersenyum ramah sambil memberikan rantang itu padaku.
Terima kasih Bu, saya terima dengan senang hati.
Makanlah segera, jangan kau biarkan semur jengkol itu kehilangan kehangatannya, pesan ibu itu kepadaku.
Akan segera aku santap, Bu.
*
Aku tidak pernah tahu siapa ibu yang seringkali datang kepadaku. Mengetuk pintu rumahku dengan ramah, dan mengantarkan makanan favoritku. Yang kutahu, ibu itu seperti mengantarkan cinta untuk kecintaannya.
Setiap hari raya idul fitri, idul adha, atau hari-hari besar agama kami, ibu itu selalu saja mengantarkan rantang yang berisi semur jengkol itu. Jika tidak bertemu denganku dititipkannya pada tetanggaku. Ada perasaan bahagia namun sekelumit pertanyaan hadir dalam kepalaku. Siapakah sebenarnya ibu itu? Apa sebenarnya tujuannya mengantarkan makanan lezat yang selalu ingin kukunyah sampai bersih?
“Topan, ini ada titipan semur jengkol, bu Marni memberikan bungkusan itu kepadaku.
Iya Bu, terima kasih, jawabku.
Baik sekali ibu itu padamu, sering sekali mengantarkan semur jengkol sedap itu, kata bu Marni yang tiba-tiba membuatku semakin bertanya-tanya.
Saya pun tidak tahu Bu mengapa ibu tua itu baik sekali padaku.
Kebaikan terkadang datang tanpa kita tahu apa maksud dan tujuannya, pernyataan bu Marni membuatku semakin tersentak.
*
Hari ini adalah tepat dua tahun perempuan itu mengirimkan semur jengkol untukku. Masih dengan wajah yang sama, sapaan lembut, dan senyum ramahnya yang ringan. Hanya saja ibu itu terlihat bongkok. Entah, mungkin karena pekerjaan-pekerjaannya atau mungkin karena jatuh.
Ibu, sudah dua tahun ibu selalu membawakan semur jengkol untuk saya. Kenapa ibu melakukannya? aku bertanya, sebab aku tidak pernah tahu apa maksud dan tujuan ibu itu.
Apa ibu tidak boleh berbuat baik pada orang lain, Nak? Tanya ibu itu dengan tatapan nanarnya.
Tentu saja boleh, Bu. Tetapi ibu baik sekali dengan saya. Dan saya belum tentu bisa membalas kebaikan ibu.
Kebaikan yang tulus dari hati tidak pernah meminta balasannya, Nak.
Tapi Bu. Belum saja aku menyelesaikan kalimatku ibu itu pamit pulang, dan aku berharap kebaikan selalu menyertai ibu itu.
Jangan pernah kau ragukan kebaikan yang sudah diberikan oleh orang lain. Aku diam, dan hanya tertunduk malu.
*
Matahari siang ini terasa menyengat, panasnya membuat dahaga terus meluap. Keringat sebiji jagung pun terus berjatuhan. Membasahi wajah, bahkan baju-baju kuyup akibat peluh yang terus bercucuran. Tetapi matahari menjadi saksi tentang ibu yang berjalan dari pagi hingga siang. Kelelahan. Jalannya tertatih dan napasnya tersengal.
Aku melihat ibu yang sering mengantarkan semur jengkol padaku. Aku melihatnya di pasar. Ibu itu menjual buah-buahan segar. Aku lihat tempatnya berjualan, tidak ada jengkol yang dijual olehnya. Kukira ibu itu penjual jengkol, tetapi bukan. Lalu aku mencoba cari tahu siapa ibu itu. Tetapi tetap saja, tidak ada jawaban yang memuaskanku.
Aku selalu dihantui oleh masa laluku. Ketika ibuku masih ada di dunia. Dulu ibuku selalu tahu masakan apa yang aku suka. Masakan yang ingin selalu aku habiskan dengan nikmat. Dan ibu itu seperti jelmaan ibuku yang telah pergi dua tahun yang lalu.
*
Aku adalah anak laki-laki yang rindu akan kehadiran ibu. Tetapi semur jengkol ibu itu seperti menghapus rinduku pada ibu yang melahirkan aku.
Kenapa kau melamun, Nak? Makanlah semur jengkol ini.
Ibu, siapa nama ibu? tanyaku penasaran.
Ijah.
Terima kasih Bu Ijah. Semur jengkolnya lezat sekali, aku mengunyah semur itu sambil mengingat ibuku yang telah meninggal.
Kenapa bengong? Tanya bu Ijah.
Saya ingat ibu saya. Aku berusaha untuk menutupi kerinduanku yang berbuah kesedihan. Tetapi tetap saja, seorang perempuan tua akan paham bagaimana hati yang berada di hadapannya.
Jangan sedih. Itu sudah kuasa-Nya. Setiap yang bernyawa akan mati. Tiba-tiba seperti ada runtuhan bangunan yang menghujam batinku.
*
Aku tidak tahu ini sudah berapa lama bu Ijah tidak datang kepadaku. Meski hanya menitipkan semur jengkol itu pada bu Mirna. Aku seperti kehilangan. Kehilangan yang memilukan. Datang tiba-tiba dan hilang tiba-tiba.
Aku berusaha mencari di mana rumah bu Ijah, tetapi tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku mencari ke pasar, tidak aku lihat, tidak aku dapati bu Ijah di tempat itu. Aku bertanya-tanya pada sekumpulan ibu-ibu yang juga berjualan di pasar tetapi tidak ada yang tahu di mana keberadaan ibu Ijah.
Bu permisi, ibu kenal bu Ijah?
Ya kenal. Kenapa?
Tolong beri tahu saya. Di mana tempat tinggal bu Ijah, aku memasang wajah belas kasihan.
Wah saya tidak tahu tuh, Mas.
Tidak tahu? Padahal tempat ibu ini dengan bu Ijah sangat dekat. Tetapi tidak tahu di mana tempat tinggal bu Ijah. Aku heran, mengapa tidak ada yang tahu tempat tinggal bu Ijah bahkan teman sebelah bu Ijah menjualkan buah-buahnya.
Bu Ijah tidak pernah jawab kalau saya nanya rumahnya, ibu itu mencoba menjelaskan.
Aku benar-benar tidak tahu hendak ke mana ibu itu pergi. Hendak ke mana aku mencarinya. Adakah yang salah denganku? Ataukah perkataanku yang sudah membuatnya tersinggung? Di mana bu Ijah?
Orang-orang di pasar pun riuh mencari keberadaan bu Ijah. Sementara para tetanggaku pun mulai bertanya-tanya ke mana ibu pengirim semur jengkol itu? Tidak ada yang tahu. Hanya ada pertanyaan dan rasa penasaran yang menggantung di otakku. Hanya ada penyesalan yang memilikan sendiku.
Hari ini adalah idul adha. Biasanya aku menikmati hari ini dengan semur jengkol yang dibuat dari tangan perempuan baya, tercipta dari jiwa murni. Ketika yang lain menyantap makanannya dengan daging kambing atau sapi, tetapi aku justru lebih memilih semur jengkol. Jelas saja, semur jengkol itu lebih nikmat dari daging segala daging yang pernah aku makan.
Sudah lima hari idul adha berlalu tetapi ibu Ijah belum juga datang atau sekadar menitipkan semur jengkol itu pada tetanggaku. Aku rindu akan kehadirannya dan semur jengkolnya. Aku mencoba mencari tahu bagaimana caranya memasak semur jengkol. Tetapi rasanya hambar. Tidak asin, tidak manis. Aku coba tambahkan kecap dan gula, tetapi perutku justru mual. Terlalu manis. Aku coba tambahkan garam, tetapi lidahku segera melepehnya. Susah sekali membuat semur jengkol. Kukira mudah membuatnya tetapi tidak semudah yang kubayangkan.
Hari berlalu begitu cepat. Tahun baru Islam segera datang. Sementara orang-orang mempersiapkan tahun baru itu dengan penuh suka cita. Dinyalakannya obor pada malam hari, lalu berkeliling memutari rumah-rumah warga. Semerbak semur jengkol di dekat rumahku tercium harum. Aku coba mencicipi masakan tetanggaku. Ah, sungguh, tidak selezat semur jengkol buatan bu Ijah. Belum aku temui lagi semur jengkol khas betawi buatan bu Ijah.
Nak, apa kabar? bu Ijah tiba-tiba datang, mengagetkanku.
Baik. Ibu ke mana saja? tanyaku penasaran.
Maaf, saya ada urusan penting. Jadi baru bisa ke sini lagi.
Iya Bu, nggak apa-apa.
Oiya, ini semur jengkol untukmu. Semur ini lebih lezat.
Iya Bu, tapi ini untuk saya semua?
Iya, empat rantang semur jengkol untukmu. Anggap saja ini pengganti sebelumnya.
Ada perasaan haru dan bahagia yang menempel pada dinding hatiku. Ada rasa rindu yang terbayar oleh kehadirannya, ditemani dengan masakannya. Aku tahu, bu Ijah adalah orang baik yang selalu memberikan kebaikannya, walau hanya sekadar semur jengkol.
Kenapa ibu selalu memberi saya semur jengkol ini?
Karena saya orang miskin, saya hanya bisa membeli jengkol ini dari pada membeli daging ayam atau daging sapi.
Jadi karena itu?
Karena Karena ibu Ijah seperti ingin menjelaskan sesuatu tetapi aku merasa lidahnya tiba-tiba kelu.
Karena apa Bu? wajahnya tiba-tiba berubah pucat pasi. Sementara bola matanya selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Maka aku cukupkan pertanyaanku.
Yaudah Bu, saya tahu ibu orang baik. Terima kasih Bu.
Aku tahu seperti ada yang disembunyikan oleh bu Ijah, tetapi aku tidak ingin memaksanya untuk menjelaskan apa yang disembunyikannya. Setelah pertemuan terakhirku pada bu Ijah. Bu Ijah tidak pernah datang lagi ke rumahku. Tidak pernah lagi mengantarkan semur jengkol padaku. Aku lagi-lagi mencari keberadaan bu Ijah. Namun ketika aku bertanya pada bu Sinta, teman bu Ijah di pasar. Aku diantarkan ke tempat bu Ijah.
Kamu yakin Mas mau bertemu dengan bu Ijah?
Yakin, tolong antarkan saya Bu.
Aku dan bu Sinta terus jalan. Menyusuri jalan kecil penuh lubang. Lalu tiba-tiba bu Sinta berhenti. Membuatku bingung. Berhenti di tempat pemakaman.
Ini tempat bu Ijah.
Maksudnya Bu?
Iya, bu Ijah sudah meninggal dua bulan yang lalu. Dia menitipkan surat ini untukmu.
Napasku sesak. Jantungku berdegup lebih kencang. Air mataku meleleh. Aku tidak tahu apakah ini benar-benar nyata atau hanya mimpi. Tetapi semua penjelasan surat itu membuatku beku dengan perasaan-perasaanku. Jadi selama ini bu Ijah adalah pesuruh ibuku? Ibuku dulu belajar membuat semur jengkol dari bu Ijah. Bu Ijah yang selalu mengantarkan semur jengkol Betawi juga orang yang tidak sengaja membunuh ibuku karena memasukkan racun ke dalam semur jengkolnya. Dan kematian bu Ijah datang dengan tangannya sendiri, memotong jemarinya satu persatu hingga habis. Hingga kehabisan darah.
Serpihan-serpihan luka dan tangisan rindu bercampur. Perempuan baya pengantar semur jengkol itu ingin meminta maaf melalui rantangnya. Meminta maaf karena sudah membunuh ibuku dengan tidak sengaja. Menitipkan kebaikan yang dibalut dengan rasa penyesalan. Menyirami kepedihanku dengan senyum ringannya, dengan sikap ramahnya, hingga aku mampu mengobati pedih ditinggal ibu tercinta. Perempuan baya itu telah menutupi khilafnya, mengguyurku dengan aroma sedap, dan menutupi sesakku dengan racikan semur jengkol yang membuat lidahku tak pernah lupa akan rasa itu.




***
Terima kasih untuk Bang Syarif. Pak Dosen muda yang memberikan masukan untuk lomba Pekan Seni Mahasiswa di Jakarta.
Alhamdulillah dapat juara 2, walau nggak nyangka sama sekali.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Mulazamah

Adakah yang lebih syahdu ketika mulazamah basah oleh lisan di antara fajar dan senja hingga langit menjadi pekat? Menjadikan atma terasa sejuk. Tempat penyimpan rasa yang ditemani embun, berasal dari pemurnian lantunan kudus. Dan menjadikan lisan terus menenun cinta hingga membentuk selendang yang selalu terbalut. Tak pernah ingin melepaskannya, sebab adanya perekat yang tak ingin kau jauh dari-Nya.

Menghitung Hari

“Menghitung hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”
 
Malam tadi kau ambil biolamu, tanganmu lihai memainkan dawai. Suara-suara yang datang pada biolamu, pada jemari lihaimu memainkan dawainya. Lembut. Aku terus menatap jemarimu, berganti dari satu senar ke senar lainnya. Menatap lamat-lamat biola yang kau bunyikan. Sambil aku menikmati alunan suara itu, dan kumenikmatinya. Kau tahu? Aku ingin meneteskan air mata, sebab yang terekam dalam otakku adalah, “Menghitung hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”

Itu yang selalu terekam dalam memoriku. Apakah ada detikku, waktuku? Apakah ada masaku nanti? Waktu aku mampu menjadikan segala raga dan pikiranku untuk memperbaiki sesuatu yang hampir rapuh. Apakah Dia mengizinkan detikku untuk terus bersujud. Melangitkan doa dan harapan hanya pada-Nya? Apakah ada masaku agar langkahku tetap menyusuri jalan panjang, meski terjal. Dan aku pun tak tahu di mana aku harus menetap pada tempat abadi. Apakah ada waktuku untuk meruangkan segala nikmat-Nya, yang seringkali aku abaikan? Apakah ada tempoku untuk menjadikan cinta-Nya lebih layak menjadi cinta sebenar-benarnya cinta?

Kau masih terus menggerakkan jemarimu. Mataku tertuju pada biolamu. Pendengaran dan nuraniku berputar pada lagu itu. Aku tak pernah tahu di mana hariku akan datang. Aku hanya takut, bahkan seperti ada yang mencungkil rasa yang terbaca oleh hati. Masaku nanti, entah kapan dan bagaimana. Aku hanya ingin, jika detikku datang aku mampu menebarkan cinta. Jika tidak bisa menebarkan cinta, biarlah melenyapkan kebohongan, kebisuan, dan kealpaan yang tercipta dari diriku.

Ruang Hampa,
Jakarta, 17 September 2016

Jagalah

"Jagalah ibumu, sebab nanti ketika ibu pergi tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan ibu."
Oh Bu, percakapan di antara kita beberapa waktu yang lalu membuat tulang-tulangku seperti patah. Satu persatu, perlahan dan begitu memilukan.
 
Aku ingin menjagamu sebagaimana engkau menjagaku. Aku tidak bisa selalu menjadi yang engkau inginkan. Aku belum juga bisa menjadi yang engkau harapkan. Barangkali aku terlalu sering membuatmu kecewa. Bu, dunia memang terkadang kejam tapi Allah tak pernah membiarkan kita terlepas dari penjagaan-Nya.
 
Bibirmu adalah doa-doa yang tak pernah henti menari. Dan kita berada di danau permai. Lantas kita menyaksikan angsa-angsa yang memenuhi danau.

Renungan

“Waidza saalaka i'badi ‘anni fa'inni qoribun ujibu da'watad daa'i idza da'aan…”


Suatu hari kau hanya ingin membiarkan tanaman harapanmu di dekat bukit-bukit itu tumbuh. Merawatnya, dan menjaganya. Kau pun bebas melakukan apapun yang membuat kau tenang dari hiruk pikuknya dunia, kota-kota yang berdiri tegak.
Kau hanya ingin pergi ke sana. Menuju bukit, lantas angin-angin membisikkan syahdu ke dalam telingamu hingga kau merasakan dingin yang menjalar ke tulang bahkan aliran darahmu. Tempat di mana kau bisa lebih dekat dengan Allah, sebab kau telah mendekat pada ciptaan-Nya. Di sana kau susun doa-doa hingga membentuk bangunan permai, tempat kau berteduh pada-Nya

Perempuan yang Dilindungi Lebah dan Hanyut Karena Hujan




Hari itu perang Uhud begitu menyala dan membakar gelora pas­ukan kafir Quraisy. Bukan hanya dari kaum pria saja, dari kaum wanita Quraisy pun memuncak darahnya. Bersorak-sorai ingin membalas dendam atas apa yang terjadi pada Perang Badar. 

Di Perang Uhud, ketika pertempuran hampir saja usai, para perem­puan Quraisy sangat girang, berlompatan, sambil bersorak-sorai. Aduhai, entah hati apa yang tersimpan dalam tubuh mereka. Ke­tika melihat kaum Muslimin terbunuh, perut-perut kaummuslimin dibelah, matanya dicongkel, bahkan mata dan telinganya pun dipo­tong. Adakah yang lebih menakutkan dan menjijikan dari hal itu?

Suasana semakin mencekam dan menegangkan, ketika Sulafah binti Sa’ad bin Syahid menyimpan dendam kepada salah satu per­empuan Muslim yang pada waktu perang Uhud telah membunuh suami dan anaknya. Sulafah bahkan bersumpah ingin meminum darah dari tempurung kepala perempuan yang telah membunuh suami dan anaknya.
Sampai pada akhirnya perempuan yang sangat dibenci Sulafah keadaannya sangat rapuh, lembingnya patah dan perempuan tersebut pun roboh penuh luka. Namun, sebelum ia mati syahid ia berdoa dengan penuh harapan, dengan napas terengah-engah, “Ya Allah, sampaikanlah berita kepada Rasulullah. Ya Allah aku telah mengorbankan diriku di jalan-Mu yang benar. Maka selamat­kanlah kepalaku dari tangan orang kafir itu.”

Allah Maha menepati janji-Nya. Ketika kaum Hudzali, ialah kaum yang dibayar kaum Quraisy untuk mendapatkan kepala Ashim, Allah melindungi tubuh Ashim dengan mengirimkan sekelompok lebah sehingga mereka tidak bisa mengenali Ashim dan memeng­gal kepala Ashim. Lalu malam harinya Allah mengirimkan hujan deras yang menimbulkan banjir sehingga jasad Ashim terhanyut oleh derasnya banjir dan kaum kafir tidak bisa menemukan Ashim.

Siapa Aku?





Tuhanku,
Siapa aku?
seringkali aku datang kepada-Mu
dengan wajah yang aku pun tak memahami
Engkau selalu mengenalku, tetapi aku yang sering lupa mengenal diriku

Tuhanku,
Aku sesekali menjadi asing
Tak menghafal siapa diriku,
Tetapi Engkau selalu hafal wujud dan batinku.

23 Juli 2016