Minggu, 27 September 2015

Lorong Cinta-Mu



Fajar menyapa dengan hati gembira, embun di pagi hari menebarkan bau basahnya. Hembusan angin bersenandung lembut, meracik nada dan melodi dengan indah, bercerita tentang dunia fatamorgana. Dedaunan melambai indah dan gemulai, meyambut dengan hati bersih. Gemiricik air mengalir dengan syahdu. Mentari pun segera menampakkan wajahnya dari peraduan. Menghangatkan jiwa-jiwa yang berhati lembut, lebih lembut dari sutra. Sahutan burung bernyanyi pun menjadi saksi bahwa mentari telah datang.
            Hidupku kini lebih berwarna, ya jauh lebih berwarna dari sebelumnya. Tak ada lagi rasa resah dan gelisah yang merasuk di dalam hatiku. Ruang-ruang hatiku kini dipenuhi dengan warna putih dan berbagai macam warna. Tak ada lagi warna hitam dan pekat. Ya, syukur kuucapkan pada Allah yang Maha mencintai. Allah mampu mengubah arahan di hidupku. Namun setiap kali aku mengingat peristiwa empat tahun yang lalu dadaku terasa sesak, lebih sesak daripada tertimpa beton. Peristiwa yang membuatku terpuruk dan terbujur kaku.
***
            Ketika aku kelas satu SMP ada sebuah peristiwa yang takkan pernah aku lupa sampai saat ini. Ketika aku sedang mengikuti lomba cerdas cermat untuk mewakili sekolahku orang tuaku menyempatkan diri untuk datang dan melihatku, ibu dan ayahku datang jauh-jauh dari Riau. Mereka sedang ada tugas di sana, tapi hari itu juga mereka datang untuk menyaksikan aku. Aku sudah menunggu sampai lomba selesai tapi mereka belum juga datang, aku kecewa dan sedih. Sebelum perlombaan selesai aku menghubungi ibu dan ayahku.
            “Ayah sama Ibu di mana? Kok belum datang juga, perlombaannya mau selesai. Aku masuk final Yah, Bu.” Aku lebih bahagia jika kedua orang tuaku ada di sini melihat dan menyaksikanku.
             “Sayang sabar ya sebentar lagi kami sampai. Kamu  jangan terlalu memikirkan ibu dan ayah, kamu fokus aja dengan lombanya ya. Doa kami senantiasa tercurahkan untukmu Nak.” Ujar ibuku dengan suara lembutnya.
            “Pokoknya aku mau ayah dan ibu di sini, walau pun nanti perlombaannya udah selesai. Kalau aku menang semuanya aku persembahkan untuk ayah dan ibu, aku sayang kalian.” Jawabku, “Iya Nak, kami juga sayang sama Lazuardi.” Ibu membalas ungkapan cinta. Hari ini tak pernah aku menyangka, ini adalah untuk terakhir kalinya orang tuaku menyatakan rasa cintanya padaku, semua berjalan begitu cepat.
            Selama tiga jam lebih aku dan kakak-kakakku menunggu kedatangan orang tua kami, sedih, khawatir dan harap-harap cemas. Semua berkumpul menjadi satu. Setelah itu ada yang menelpon ke ponsel kakakku, Fahris.
            “Selamat siang benar ini dengan sauadara Fahris? Saya dari kepolisian ingin memberitahu bahwa orang tua Anda kecelakaan di daerah Bogor.” Kak Fahris tiba-tiba menjatuhkan ponselnya, air mata pun jatuh begitu saja.
            “Kenapa Kak Fahris? Itu dari siapa? Kenapa menangis?” Ujarku yang semakin penasaran, “Kenapa Ris kok kamu nangis sih.” Tanya kak Diandra.
            “Ibu dan ayah kecelakaan di Bogor.” Jawab kak Fahris. Aku pun lemas, piala yang aku pegang erat terjatuh. Air mataku pun membasahi wajahku, aku harap semua akan baik-baik saja.
            “Yaudah sekarang kita ke sana, semoga ibu dan ayah baik-baik saja.” Kak Diandra langsung membawa mobil dengan cepat.
            “Kak jangan ngebut dong, tenang aja. Yang penting kita bisa selamat dan bisa ketemu ibu dan ayah. Kalau kakak ngebut Fahris takut ada kejadian yang nggak diinginkan.” Kak Fahris mencoba untuk menenangkan kak Diandra agar tetap tenang saat mengendarai mobil.
            Kami pun sampai di rumah sakit itu, sungguh aku merasa semakin sesak dan napasku terengah-engah.
            “Maaf Suster, korban kecelakaan yang bernama bu Laras dan pak Kholis di mana ya? Tolong antar kami.” Kak Fahris, aku dan kak Diandra mengikuti suster tersebut. Sesampainya berita duka pun menghampiri kami.
            “Dokter bagaimana keadaan ayah dan ibu saya? Apa dia baik-baik saja.” Tanya kak Diandra.
            “Kalian keluarganya?” Tanya sang dokter, “Iya dok, gimana keadaan orang tua kami?” Tanya kak Fahris, “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkehendak lain.” Jawab dokter dengan wajah sedih.
            “Jadi maksudnya ibu dan ayahku meninggal dunia?” Tanyaku penasaran, “Ayah kamu meninggal, tapi ibu kamu masih hidup walau keadaannya kritis.” Jawab dokter, “Kami ingin meliht ibu kami, Dok.” Sahut kak Fahris, “Iya silahkan.”
            “Ibu, ibu nggak boleh ninggalin aku. Aku nggak mau ibu pergi. Huhuhu.” Air mataku membasahi pipi ibuku. Tak lama kemudian ibuku sadar, aku tidak sanggup melihat keadaan ibuku.
            “Sstt, kamu nggak boleh nangis Nak, jelek. Gimana lombanya?” Tanya ibuku.
            “Aku menang Bu, maaf aku nggak bisa jadi juara satu tapi juara kedua.” Jawabku sambil menangis, “Nggak apa-apa Nak, yang penting kamu sudah berusaha.” Ibu mengusap pipiku dengan lembut.
            “Nak, jika ibumu ini meninggal dunia jangan sesali semuanya. Tetap shalat dan melaksanakan semua perintah Allah.” Ujar ibuku.
            “Ibu nggak boleh berbicara seperti itu. Ibu pasti akan sehat, aku percaya.” Jawab kak Diandra, “Iya Bu, insyaAllah ibu akan sembuh.” Sahut kak Fahris.
            “Nak, maut bisa datang kapan saja. Itu pesan ibu, tolong jaga adikmu, Lazuardi dengan baik.
            “Ibu nggak boleh pergi, ayah udah ninggalin aku, ibu juga mau ninggalin aku? Aku yakin ibu pasti bisa sembuh kok. Huhuhu.” Aku menangis sekencang-kencangnya.
            “Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk ibu saya, berapa pun biayanya.” Kak Diandra memohon pada dokter dengan penuh harap.
            “Anak-anakku sayang, janganlah bersedih dan janganlah menangis. Tolong ikhlaskan ibumu ini, Nak.” Ujar ibu, wajahnya sangat pucat. Lemas sekali.
            “Ibu mohon jangan pernah meninggalkan agamamu, Nak. Jangan pernah jauh dari Allah, Nak. Ibu ingin istirahat,
            “Ibuuuuu, jangan pergi ibu. Huhuhu.” Aku pun menangis terisak-isak, menjerit seperti kerasukan setan. Suasana pun menjadi tegang, dinding-diding pun seakan mengerti apa yang sedang terjadi di dalam ruangan ini.
***
            Di saat kami masih merasakan kehilangan orang tua, kak Diandra menemukan seorang perempuan, ya cintanya. Aku dan kak Fahris menyetujui hubungan mereka, karena kami tahu ia sudah pantas untuk menikah. Setahun kami dtinggal pergi oleh orang tua kami, kak Diandra menikah dengan kak Rensi. Tepat saat aku baru saja naik ke kelas 2 SMP, kakak pertamaku benar-benar sudah hilang akal dan pikiran.
Setelah mereka menikah selama 1 tahun aku dan kak Fahris merasa kak Diandra berubah, ia jarang sekali yang namanya shalat, shalat jumat pun tidak mau. Sampai pertengkaran itu terjadi, antara kak Diandra dan kak Fahris.
            Saat itu aku dan kak Fahris mengikuti kak Diandra dengan kak Rensi dari belakang, aku dan kak Fahris pun kaget. Kami sama sekali tidak menyangka, aku semakin sesak melihat kejadian itu, sungguh lebih sesak ketika ibu dan ayahku meninggal.
            Jelas saja aku sesak, kak Diandra menyembah selain Allah. Ia menyembah pohon yang sama sekali tidak masuk akal, dia juga sering pergi ke dukun sampai tetangga kami ada yang menjadi tumbal, ia percaya ramalan dan segala macam. Dan semua itu ajakan dari si perempuan itu, aku benci sekali dengan dia. Dia yang telah merusak kakakku.
***
            Aku meronta sesak ketika kak Diandra dan kak Fahris bertengkar dahsyat, menyakiti satu sama lain hingga memar dan berdarah, baru kali itu aku melihat mereka bertengkar seperti itu. Sampai aku terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Tapi yang jelas yang membuat aku lebih sakit ialah ketika aku sadar, kak Fahris telah pergi. Entah pergi ke mana, menyisakan kepingan-kepingan sesak dan luka yang begitu menyayat hati. Aku marah dengan kak Diandra, tapi ia tak peduli.
             Aku terus mendesak kak Diandra untuk memberitahu di mana keberadaan kak Fahris, tapi ia justru berkata dan berbuat kasar padaku.
            “Ngapain sih kamu nyariin si Fahris? Kamu tuh harusnya bersyukur bisa hidup mewah dengan kakak! Kamu bisa beli apa aja sesuka hatimu. Haha” kak Diandra tertawa puas, hatinya telah diwarnai dengan warna hitam dan pekat.
            “Aku nggak pernah mau ini semua, yang aku inginkan Kak Diandra kembali ke jalan yang benar! Sadar! Jangan sampai Allah menutup mata hati Kak Diandra!” Aku membentak kak Diandra.
            “Heh, kamu tau apa tentang Tuhan? Kalo emang ada Tuhan sampai sekarang kenapa Tuhanmu nggak menolong kamu? Haha, dasar bodoh!” kak Diandra mendorongku, sampai kepalaku terbentur keras.
            Berbulan-bulan bahkan hampir satu tahun lamanya aku mencari kak Fahris namun aku tak pernah menemukannya. Sungguh aku semakin sesak, gumpalan luka dan duka bersatu padu. Aku lebih sesak ketika aku di rumah melihat kak Diandra dan kak Rensi merokok, minum alcohol sambil bermain kartu. Bahkan di saat tengah malam, aku tidak sengaja pernah memergoki kak Diandra berbincang dengan makhluk yang sangat mengerikan, berbadan besar dan hitam, matanya merah menyala. Aku pun langsung ke kamar. Badanku menggigil, aku takut sekali.
***
            Semenjak kak Fahris menghilang bagai ditelan bumi, hidupku semakin tak terarah. Terlebih lagi setiap hari aku harus menyaksikan sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini, tapi hendak pergi ke mana? Aku tak punya saudara di Jakarta. Sampai akhirnya aku pun tidak pernah yang namanya shalat lagi, mengaji dan lain-lain.
            “Tumben kamu sekarang kayaknya udah nggak pernah shalat lagi ya? Kenapa? Tuhanmu nggak bisa nolongin kamu ya? Haha. Kamu mau ikut aku nggak?” Kak Diandra tertawa, lalu mengajukan pertanyaan padaku.
            “Maksud Kakak?” tanyaku bingung.
            “Ya ikut yang selama ini aku lakukan, seru loh. Hahaha.” Kak Diandra tertawa lagi, lebih kencang.
            “Sampai kapan pun tidak akan pernah! Aku tidak akan menyembah apa pun! Jangan pernah memaksa dan mendesakku, sekarang urusan kita berbeda. Aku tidak peduli Kak Diandra mau berbuat apa, tapi aku juga berharap Kak Diandra tidak perlu ikut campur dengan urusanku. Aku dan kamu berbeda, Kak!”
***
            Sampai pada akhirnya aku tidak percaya lagi dengan Tuhan, agamaku hanya sebagai identitas saja. Sampai aku SMA pun aku tak pernah lagi shalat, mengaji, bahkan berdoa. Hatiku sudah ternodai dengan coretan-coretan tinta hitam yang panas. Aku tahu sahabat-sahabatku sering menasihatiku untuk shalat, ya aku lakukan itu pun karena aku tidak enak dengan mereka. Jadi aku melakukannya bukan karena hatiku, bukan karena ketulusanku.
            Sesampai di rumah aku mendengar teriakan histeris dari kamar kak Diandra. Seketika membuat jantungku berdetak sangat kencang, bola mataku lincah sekali melihat ke segala arah, termasuk melihat bingkai jendela kamar kakakku. Aku kira mimpi tapi ini nyata, kak Rensi memegang pisau yang sangat tajam. Meletakkannya di leher kak Diandra, seraya berkata “Haha, dasar laki-laki bodoh! Kau pikir selama ini aku menikah denganmu karena aku cinta padamu?” kak Rensi memainkan pisaunya.
            “Maksud kau apa, Rensi? Kamu jangan macem-macem!” kak Diandra gemetaran.
            “Haha, aku sengaja memisahkan kamu dengan adik-adikmu dan menyesatkanmu karena aku ingin mengambil semua yang kau miliki. Rumah dan harta yang berlimpah, aku juga yang membuatmu jauh dari Tuhanmu hingga sesat seperti ini. Untungnya kau terperangkap dengan mudah, lemah sekali imanmu sayang. Hahaha.” Kak Rensi menyodorkan pisaunya ke leher kak Diandra.
            “Lepaskan aku, aku bisa melaporkan kamu ke polisi!” kak Diandra mendorong kak Rensi, melarikan diri. Tapi sayang pintunya sudah dikunci kak Rensi. Kak Rensi pun dengan cepat menarik tangan kak Diandra.
            “Haha, kamu sudah terlambat.  Semuanya sudah terlambat!” kak Rensi langsung menancapkan pisau itu ke leher kak Diandra. Tubuhku lemas, aku terburu-buru pergi dari rumah. Aku tak pernah menyangka hidupku kini benar-benar sangat kelam, nelangsa.
            “Tuhan, katanya Engkau ada di mana-mana? Tapi kenapa Kau membiarkan hidupku seperti ini, Kau mengambil semua orang-orang yang aku sayang. Mengapa pula Kau biarkan kak Diandra mati tragis seperti itu, di mana kuasa-Mu, Tuhan? Aku benci pada-Mu, sungguh Kau tidak adil. Di mana letak keadilan-Mu, Tuhan? Haha.” Aku menangis terisak, menahan rasa sesak di dada. Menahan rasa kalut, menahan semua luka dan duka tersimpan dengan rapi.
***
            Malam itu aku tidur di sebuah lorong. Lorong yang begitu gelap dan pekat. Aku tak peduli di mana aku sekarang, yang penting aku bisa melupakan semua luka dan duka yang datang begitu cepat. Atau kalau boleh aku ingin esok hari Tuhan kan mencabut nyawaku. Ketika aku tertidur pulas di lorong gelap ini. Aku bermimpi. Badanku menggigil, keringat dingin, mimpiki sangat seram. Membuat jantungku berdetak lebih kencang, tubuhku lemas. Ingin rasanya aku membuka mataku namun aku tak bisa, seolah ada lem yang sudah merekat mataku.
            “Hai anak muda? Mengapa kau pergi meninggalkan Tuhanmu? Sementara Tuhanmu sangat menyayangimu.” Ada seorang laki-laki tinggi, ia berdiri membelakangiku. Suaranya menggema.
            “Bohong kau! Kalau Tuhanku menyayangiku mengapa ia mengambil semua orang yang aku cintai? Mengapa Tuhanku menimpakan semua luka dan duka begitu cepat?” Napasku terengah-engah, air mataku terjatuh membasahi gumpalan tanah lorong itu.
            “Wahai engkau yang lembut hatinya, Tuhanmu itu Allah. Sungguh Allah telah merencanakan dan mempersiapkan semuanya, dan Allah yang mampu menjadikan semuanya indah, tanpa pernah kau duga. Tanpa pernah kau bayangkan.” Suara lembut itu menggema, namun hanya ada suara tak ada raga.
            “Si, si, siapa kau? Di mana kau?” Aku bertanya penasaran.
            “Wahai engkau yang berhati lembut dan berjiwa manis, kau mau tahu tentang sesuatu hal? Apa kau tidak rindu dengan ibu dan ayahmu, juga dengan kak Fahris?” Suara itu lagi-lagi terdengar, membuatku gemetaran.
            “Kau, mengapa kau tahu mereka? Apa maksud semua ini?” tanyaku yang semakin bingung dan penasaran.
            “Wahai engkau yang lembut hatinya, ibu dan ayahmu kini sedang bersedih. Melihat anak kesayangan jauh dari Allah, perlu kau ketahui ibu dan ayahmu tengah berada di tempat yang paling indah, tapi ia sedang bersedih hati melihat keadaanmu seperti ini. Sadarlah hati, sadarlah wahai hati yang mudah terombang-ambing. Sadarlah Rabbmu telah menunggumu, Rabbmu ingin kau memadu cinta pada-Nya. Sadarlah wahai hati.” Suara itu membuatku merinding, apalagi dengan semua ceritanya.
            “Kau, siapa kau sebenarnya?” Aku bertanya lagi.
            “Perlu kau ketahui kak Fahris telah menyiapkan sesuatu untukmu, ia pergi meninggalkanmu karena ia ingin merencanakan sesuatu yang mampu membuatmu tersenyum manis, tanpa diketahui kak Diandra. Kakakmu kini berada di negri yang senatiasa mengingatkannya pada Rabbmu, sungguh ia menjadi manusia yang jauh lebih beriman dan bertakwa. Setiap hari dan malam ia senantiasa mendoakanmu, bahkan air matanya pun membasahi sajadahnya. Esok hari ia kan menemuimu, maka sambutlah ia dengan hati gembira dan rasa syukur. Sedangkan kak Diandra, ia masih Allah tolong. Selepas kau meninggalkan rumahmu, kakakmu masih hidup, ada tetanggamu yang baik hatinya segera membawa kakakmu ke rumah sakit. Sadarlah wahai hati, Allah sangat menyayangimu.”
            Dan ketika suara itu pergi menjauh aku mendengar suara, ya suara yang tak asing di telingaku.
            Astaghfirullah, Lazuardi mengapa kau seperti ini? Maafkan aku telah meninggalkanmu bertahun-tahun. Bangun Dik, bangun sayang. Kakak sudah mendengar semua tentangmu dan kak Diandra, maafkan aku.” Air mata itu membasahi wajahku yang pucat dan dingin. Aku pun membuka mataku pelan-pelan, menata hatiku kembali dan melupakan semua luka dan duka yang sangat pilu.
            “Kakak, ini kak Fahris? Kakak ke mana aja Kak? Aku takut sekali, maafkan aku, sudah lama sekali aku meninggalkan shalat, bahkan doa pun tak pernah.” Aku menangis di pangkuan kak Fahris.
            “Kau tidak perlu meminta maaf dengan kakak, mintalah maaf dengan Allah. Allah Maha penerima taubat. Kakak sudah tahu semuanya, bu Darsih tetangga kita sudah menceritakan semuanya. Kita tata lagi hidup kita, kita lupakan semua yang sudah terjadi. Kak Diandra pun sudah menyadari semuanya, maafkan kakak selama ini sudah meninggalknamu.” Kak Fahris memelukku erat, sungguh aku merasa tenang berada di dekat kak Fahris. Ia jauh lebih tampan, dan wajahnya seperti bersinar, karena cahaya-Nya.
***
Sungguh sembilu pilu menghentakkan langkahnya dengan senada, mata hatiku terbelalak menyala bagai api yang sedang memanas. Jemariku tak kuasa melepas semua luka dan duka yang melekat erat. Tak lama kemudian sang fajar menyapa, menyambutku penuh cinta, bersama mentari pagi yang menghangatkan dengan kicauan burung. Fajar pun tergilincir, senja segera menyapa, menyemburatkan warna jingga di setiap sudut kehidupan. Senja pun kembali ke tempat peristirahatannya, sang malam tiba dengan segala keelokannya. Membawaku pergi ke langit malam, bintang berbaris rapi membentuk formasi penuh makna, menerangi jalanku yang semula redup. Rembulan seakan tak ingin tertinggal, ia memberikan sebongkah senyuman terindahnya. Aku disapa dan diajak pergi dengan sang malam, memutari langit, hingga aku temukan lorong. Semula aku urungkan niatku untuk ke sana, lorong yang gelap dan pekat. Namun sang malam senantiasa menuntunku, menutup mataku dan meyakinkan hatiku. Sesampaiku di lorong itu, aku membuka mataku perlahan. Aku memandang penuh takjub, kukira lorong ini gelap dan pekat. Dari jauh memang terlihat sangat pekat, tapi ketika aku mendekatinya dan membuka mataku, secercah cahaya langsung menyergapku. Silau. Ribuan kupu-kupu mengepakkan sayapnya dengan indah, ribuan kunang-kunang menghamburkan sinarnya. Ribuan bunga bermekar indah, berwarna-warni, air terjun yang mengalir indah. Inilah lorong cinta-Mu yang sesungguhnya.

Robohnya Pengadilan



Pagi ini siswa kelas XII MIA 2 SMAN 39 sedang belajar PKN. Seorang guru sedang menjelaskan materi tentang pengadilan di Indonesia. Kelas begitu tenang ketika seorang guru bernama pak Tata menjelaskan materi yang sedang dijelaskan.
Tiba-tiba ada seorang siswa yang bertanya, “Pak, kenapa pengadilan di Indonesia terkadang tidak adil? Padahal namanya pengadilan?” Si guru pun menjawab “Ya, memang begitulah kenyataannya. Banyak peristiwa yang tidak disidang dengan seadil-adilnya. Terkadang hukum peradilan di Negara kita memang menyedihkan, miris.”
                        “Nah iya betul tuh Pak, yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan. Jadi, seperti permainan saja. Sekarang uang pun sudah menguasai segalanya. Mampu membutakan hati manusia. Ketidakadilan dan ketidakjujuran merebak.” Syifa langsung menyanggah Desta,  “Iya benar. Ketika seorang nenek harus dihukum hanya mencuri semangka, saya tahu mencuri memang tidak baik. Tapi, hanya karena mencuri semangka dipenjara dua tahun? Lagi pula si nenek itu mencuri karena lapar, sedangkan tetangganya tidak peka, lah ini koruptor yang mencuri uang rakyat bermilyaran dipenjara sebentar,” Syifa belum selesai menjelaskan tiba-tiba Desta langsung menyahut, “Itu mah seperti bukan dipenjara, masa dipenjara ada televisi, ruangannya nyaman. Sudah seperti ruangan VVIP saja.” “Nah itulah, maka dari itu kalian belajar yang benar agar kelak menjadi orang sukses yang tidak tersesat.”
Suasana kelas pun menjadi hening, dan semua siswa masih semangat untuk melanjutkan pelajaran PKN.

ANEKDOT
@Ikanur_21 | Pesonasastra.tumblr.com | ikanur21

Hari Ini Bayar, Besok Gratis



Kemarin Andi pergi ke supermarket yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah Andi sampai di supermarket dia mencari tempat parkir, Andi tampak kebingungan lalu datanglah satpam, “ada yang bisa dibantu Mas?” Tanya satpam, “Oh ya Pak, tempat parkir di mana ya?” Andi bertanya pada satpam, lalu satpam menjelaskan, “dari sini Mas lurus terus sampai nanti ada belokan ke kiri lalu ke atas,” jelas pak satpam. Andi pun mengucapkan terima kasih kepada satpam tersebut lalu menuju tempat parkir.
            Andi menemukan tempat parkir, di tempat parkir Andi membaca informasi “Hari Ini Bayar, Besok Gratis” wajah Andi terlihat senang sekali lalu dalam benaknya, “waah kalau besok aku ke sini berarti gratis ya hehe.”
            Andi langsung masuk ke supermarket setelah itu dia membeli barang-barang yang ingin dibeli kemudian dia pun segera pulang karena keperluannya sudah selesai. Sesampai di parkiran Andi bertanya kepada penjaga parkiran, “Mas di situ ada bacaan hari ini bayar, besok gratis, berarti besok saya kalau parkir di sini gratis dong?” lalu si penjaga parkir dengan geli menjawab, “ooh iya. Yaudah besok Mas ke sini ajah lagi,” si penjaga parkiran menjawab pertanyaan Andi sambil tertawa. Keesokan harinya Andi datang kembali, lalu parkir di tempat biasa, dengan pede dia mengatakan kepada penjaga parkir, “Mas gratis dong hari ini hehe,” lalu si penjaga parkir tersenyum sambil menjawab,”Lha Mas ini nggak bisa baca apa ya? Sudah jelas tulisannya hari ini bayar, besok gratis, ya tetap bayarlah.” Andi masih bingung lalu dia kesal, “Lah kok bayar?” si penjaga parkir menjelaskan, “Mas tulisannya kan hari ini bayar besok gratis. HARI INI BAYAR!” Andi kesal, “Lah kalau saya ke sini besok berarti ya tetap bayar dong?” si penjaga, “Lah iyalah. Haha,” “ dasar sama ajah bohong!” Andi segera membayar dan pergi dari tempat parkiran itu.

contoh teks anekdot 
@ikanur_21| pesonasastra.tumblr.com | ikanur21