Selasa, 10 September 2013

Merajut Ukhuwah



Kini kami berada dalam satu organisasi,

dalam lingkaran yang sama.

Merumuskan, memecahkan dan menjalankannya bersama-sama.

Kami meniti jalan, jalan cinta para pejuang.

Di sini kami memadu cinta karena-Nya.

Begitu indah untuk dirasakan, bersemai dengan indah.

Bagai bunga-bunga di taman yang sedang bermekaran

Bunga dengan sejuta warna dan keindahannya.

Ukhuwah Islamiyah,

Itulah yang kami rasakan,

Betapa indahnya, betapa manis untuk dirasakan.

Lebih manis dari madu.

Cinta dan kasih yang terajut dengan lembut dan indah.

Lebih lembut dari sutra, lebih indah dari pelangi.

Kami sadar setiap pohon memiliki ranting dan daun yang saling melengkapi. Kami pun sadar di antara reranting itu ada yang sudah tua dan patah, di antara daun-daun yang hijau dan kuat akan ada daun yang sudah tua dan layu. Dan dedaunan itu pun jatuh berguguran, satu persatu. Setelah daun yang jatuh dan berguguran akan ada pengganti daun yang jauh lebih hijau dan kuat.

Begitulah jalan dakwah, di setiap jalannya ada saja yang berguguran. Kami sadar, jalan ini hanyalah dapat dilalui dengan orang-orang kuat dan tangguh. Kami sadar, hanya orang-orang pilihan Allah yang tetap berada di jalan cinta-Nya. Dan kami sadar, ukhuwah ini kian bersemai dengan indah, berdendang dengan indah menghiasi langit-langit kehidupan kami. Ya, aku mulai mengerti apa makna pershabatan yang sesungguhnya. Ketika aku artikan persahabatan, ini lebih dari itu. Aku sadar, sering kali aku berpikir buruk kepada teman-temanku, sering kali aku tidak sepaham dengan teman-temanku. Tetapi ketika kuartikan lagi apa makna ukhuwah, aku semakin mengerti dan memahaminya. Di saat aku lelah, mereka selalu berusaha memberikan aku semangat, ketika aku mulai menyimpang dari jalan-Nya, mereka mengingatkan dan mengarahkanku. Indah bukan? Aku selama ini inginkan seorang sahabat yang baik, bukan hanya sahabat yang mengingatkan dan membuatku merasa bahagia di dunia saja akan tetapi selalu mengingatkanku dan membuatku merasa bahagia karena nasihatnya. Mereka yang selalu mengingatkanku bahwa surga itu mahal, mereka yang selalu mengingatkanku tentang ayat-ayat cinta-Nya yang maknanya begitu dalam untuk diresapi. Ya, ketika aku mulai merasa jenuh dan bosan mereka berulang-ulang kali mengingatkanku.

“Ingat ya teman-teman! Kita harus ingat apa makna dari surat Muhammad ayat 7”

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Kau tahu apa yang selalu membuatku bahagia? Ketika aku memiliki orang tuaku, keluargu dan juga mereka, sahabat-sahabat tercintaku, sahabat seperjuanganku dan kakak-kakak Rohis. Ketika Allah mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa seperti mereka, sungguh aku bahagia dan bersyukur. Bahkan aku bisa lebih mengenal dan dekat dengan mereka. Sungguh, aku tak pernah membayangkannya, tak pernah sedikit pun terbesit dalam bayanganku, tak pernah sedikit pun aku menerka-nerka. Semua terjadi begitu indah, sungguh indah seindah firman-Nya, sungguh manis semanis cinta kasih-Nya.

Dan aku selau teringat lirik lagu dari nasyid yang bernama Snada yang berjudul Teman Sejati, seperti ini liriknya.

Selama ini kumencari-cari teman yang sejati

Buat menemani perjuangan suci

Bersyukur kini pada-Mu Illahi

Teman yang dicari selama ini telah kutemui

Dengannya di sisi

Perjuangan ini tenang diharungi

Bertambah murni kasih Illahi.


Seperti itulah lirik lagunya, sederhana namun memiliki makna yang begitu dalam dan mampu menyentuh. Ketika di luar sana banyak orang-orang yang sibuk mencari seorang sahabat karena untuk berleha-leha, untuk bersenang-senang dan bermaksiat, di sini Allah pertemukan aku dengan mereka. Aku takkan pernah bisa mendapatkan sahabat seperti mereka, sahabat yang senantiasa menemani perjuangan ini. Hati kami terikat karena ikatan cinta-Nya. Ada satu lagu lagi yang selalu membuatku semangat dalam menjalani hari-hariku, dalam berdakwah. Lagu nasyid dari Izzatul Islam yang berjudul Rabithah.

Sesungguhnya Engkau tahu
Bahwa hati ini telah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syariat dalam kehidupan

Sekali lagi kami sadar, kami tahu di antara kami aka nada yang tumbang dan berguguran di jalan-Nya. Baru setengah jalan mereka menjauh bahkan pergi meninggalkan Rohis, pergi meninggalkan dakwah ini. Akan tetapi kami tetap berada di jalan ini, walau terkadang aku sendiri suka merasa lelah dan ingin menyelesaikannya secepat mungkin. Ingin rasanya aku melepaskan amanah ini, tetapi Allah senantiasa menutup pintu hatiku untuk keluar dari jalan ini. Sedangkan mereka, sahabat-sahabatku senantiasa mengingatkan aku. Tak hanya sahabat-sahabatku saja tetapi kakak-kakak Rohis pun senantiasa memberikan kami semangat juang yang tinggi, senantiasa memberikan tausiyah, nasiha-nasihat yang mampu menenangkan. Tidak, aku tidak akan pernah melupaka mereka, sahabat dan kakak-kakak Rohis seperti mereka. Karena bertemu dan mengenal dengan mereka merupakan sebuah anugerah dari-Nya.

Jumat, 06 September 2013

Ketika Secercah Cahaya itu Datang

Bismillahirrohmanirrohiim.
Mohon maaf untuk kalian yang saya sebutkan namanya dalam sebuah tulisan. Saya akan menuliskan semua nama kalian yang sudah memasuki fase kehidupanku. 

Ketika aku masuk SMAN 58, ketika itu pula aku masuk dalam sebuah lingkaran organisasi. Ya, organisasi itu bernama ROHIS. Sungguh aku bersyukur pada Rabbi Izzati yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang yang shalih dan shalihah.
Allah pun mengubah arahan di hidupku.
Aku merasakan sesuatu yang tak pernah aku rasakan dan dapatkan sebelumnya. Akhirnya setelah aku dan teman-teman selesai menjadi pengurus, aku memiliki mimpi. Mimpi itu kian menghampiriku. 
Kutekadkan niat dalam hati, aku harus bisa!!
Mimpiku itu ialah aku ingin mengaktifkan ROHIS SMP dan SMA BD.
Akhirnya setelah aku selesai UAN dan segala macam, hanya menunggu pengumuman aku niatkan diri untuk ke SMP-ku tercinta.
Aku datang dengan penuh semangat dan optimis. Tak lupa menyebut nama Allah.
Alhamdulillah ketika aku berbicara dengan bu Uswatun dan pak Jupri beliau mengizinkannya.
Saya meminta izin dengan pak Jupri karena beliau selaku pembina Rohis SMA-nya. Lalu bu Uswatun pembina Rohis SMP-nya.
Aku bersyukur karena niatku itu disambut baik.
Awalnya aku baru mencoba ngisi mentoring di SMA. Sekali -tiga kali pertemuan aku shock. Karena lumayan banyak yang datang.
selama satu bulan- 2 bulan mengisi di SMA dan SMP. SMA setiap hari rabu sedangkan SMP hari jumat.
Saat itu pak Jupri meminta tolong mencari ikhwan 58 untuk mengisi di SMA.
Alhamdulillah kak Rahmat bersedia. Tapi aku tidak tahu apakah sudah berjalan atau belum. Tapi ketika aku menanyakan hal itu kalau nggak salah kata ka Rahmat hanya sekali. Aku lupa.
Lalu semakin ke depan semakin dikit yang datang mentoring. Yang awalnya bisa sampai 10-15 akhwat. Tapi menjadi 5, 3, 2. Tapi tak apa, karena mereka masih semangat.
Lalu di SMP aku minta tolong sama temenku yang bernama Arin, Rena, dan Ardi.
Mereka pun bersedia. Sungguh aku bersyukur.
Setelah beberapa bulan kemudian, pengumuman itu datang.
Satu persatu menghampiriku.
Aku bahagia dan bersyukur.
Tapi aku pun sadar tak selamanya mereka bisa membantuku.
Ketika aku datang ke acara Tafakur Alam angkatan 22, aku tumpahkan segalanya di sana.
Ya, aku ingat ketika kami berdoa bersama. Ka Dian yang menjadi pemimpin doa.
Memanjatkan doa dan mimpi kami.
Awalnya suasana begitu ramai oleh tawaan dan candaan, namun setelah aku yang mendapatkan giliran semua diam. Suasana semakin hening dan haru.
"Semoga Allah senantiasa melembutkan hati orang tuaku, semoga aku bisa tetap istiqomah, semoga aku bisaa...." belum sempat aku memanjatkan doaku, aku tak kuasa untuk menahannya, aku pun menangis terisak-isak. Lalu hening memecehkan dinding-dinding kehidupan.
"Semoga aku bisa menghidupkan Rohis SMP BD, walau pun aku tahu nggak bisa seperti Rohis 58, tapi seenggaknya Rohis di SMP bisa ada. Aku mohon bantuan kakak dan teman-teman di sini, aku nggak bisa sendirian." aku pun menangis terisak-isak.
Lalu sang kakak, ka Dian berkata "Ika, kami di sini nggak selalu bisa membantu Ika. Tapi seenggaknya Ika sudah memberikan secercah cahaya untuk SMP Ika. Tetap jalanin ya Dek." Begitulah kiranya, aku tak hapal bagaimana susunan katanya, tapi seperti itulah kiranya.
Setelah beberapa bulan kemudian, pengumuman itu datang.
Satu persatu menghampiriku.
Pertama aku tahu Ardi keterima di IPB, siapa yang tidak bahagia mendengar temannya mendapatkan Universitas favorit.
Lalu kudengar lagi Arin keterima di UNJ, dan Rena kuliah di sebuah Universitas, STIE Ganesha.
Dan aku di UHAMKA.
Oh Allah, bahagia, sedih, sesak semua menjadi satu.
Bahagia karena kami bisa merasakan kuliah.
Sedih karena seiring dengan berjalannya waktu mereka bertiga susah untuk ke BD lagi.
Tapi dulu, ketika kami mengisi dengan percayanya aku mengatakan "InsyaAllah saya akan tetap ada di sini, tetap istiqomah ya Dek." sejujurnya aku ingin menangis, tapi rasanya tidak mungkin aku menangis di depan mereka.
Sampai pada akhirnya aku pun menangis.
Ya, ketika aku ngisi dan hanya aku seorang diri. Tanpa ditemani Rena, Arin dan Ardi.
Ketika aku mengisi lebih banyak ikhwannya, kira-kira 8:2 bahkan 8:1.
Sesak dan sedih rasanya ketika mereka mulai bertanya-tanya tentang ketiga sahabatku.
"Kak Ika, kok ka Arin, Rena dan ka Ardi nggak ngisi lagi sih? Kok kak Ika jadi sendirian sih?"
dan bu Uswatun pun berkata "Mba, ke mana mba Arin, Rena dam mas Ardi? Kok udah nggak pernah ngisi lagi? Oh iya pasti sudah kuliah ya, sibuk."
Lalu di saat Arin dan Rena menemaniku lagi mereka pun senang.
Dan ketika Ardi datang lagi mereka pun senang.
Ya, aku tahu aku tidak selalu bisa mengharapkan mereka semua.
Dan lagi-lagi dan lagi, ketika mereka mulai tak muncul. Mulai pergi lagi, mereka dan bu Uswatun selalu saja menanyakan hal yang sama seperti yang sebelumnya
Oh Allah, rasanya aku ingin menangis. Tapiiiii?
Ya, menangis di hadapan-Mu merupakan hal yang paling jitu.
Aku tahu mereka sudah kuliah begitu pun dengan aku. Tapi mana mungkin aku meninggalkan semua ini? Ketika aku memulainya dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.
Oh Allah, bahkan yang lebih sesak ketika mereka berteriak dan mengatakan.
"Kak Ika, ka Ardi ke mana sih? Sibuk banget apa?"
aku pun menjawab "Iya kak Ardi kuliah Dek, jadi kalau lagi libur aja ke sininya. Lagian sama aja kan mau ngisi kak Ika atau ka Arin atau ka Rena atau ka Ardi?"
Di antara mereka, beberapa ada yang menjawab 
"Enggak ah kak, aku maunya sama ka Ardi aja, enakan sama ka Ardi." 
"Iya kak Ika, ka Ardi itu asyik orangya." Jleeeeeeeeb, Astaghfirullah.
Rasanya aku ingin nangis dan mengatakan "Hai adikku sayang, yang ada di depanmu ini ka Ika bukan ka Ardi. Bisakah kalian kalau setiap kali ada Rohis kalian nggak nanya ka Ardi? Saya yang ada di sini Dek, saya, saya bukan Ardi!" Tapi tidak mungkin aku mengatakan seperti itu.
Lalu aku pun menjawab "Dek, sabar ya. Kalau kak Ardi libur insya Allah ke sini kok. Tenang ajah."
Mungkin memang mereka sudah merasa dekat dan enjoy dengan Ardi.
Dan kau tahu? Waktu itu ada seorang ikhwan yang tumben sekali sms-ku dan menanyakan kabar Rohis SMP-ku.
Awalnya aku senang karena ia katanya ingin mencoba ngisi di SMP-ku, tapi ternyata hanya ucapan saja. Tapi tak apalah, aku masih bisa sendiri.
Waktu itu juga pernah ada yang bertanya tentang Rohis di SMP-ku, ya kakak alumni.
Aku pun sempat koordinasi dengan ka Gilang dan ka Ardi, mereka alumni SMA BD. Yang kutahu, mereka ketika SMA anak Rohis. Tapi karena kami juga memiliki pendapat yang berbeda dan itu yang membuatku tidak "srek"
Tapi sungguh dan sekali lagi. 
Aku tidak membutuhkan sekadar UCAPAN atau JANJI. 
Yang kubutuhkan ialah TINDAKAN. Sampai akhirnya aku tidak pernah lagi koordinasi dengan dua kakak itu, karena aku terlalu lama menunggu mereka. Karena aku nggak bisa yang namanya menunggu, apalagi kalau hal dalam berbuat kebaikan.
Kulupakan semua janji dan ucapan mereka. Walau terkadang dalam hati rasanya ingin sekali ada yang membantu.
Sendiri, ya, lagi dan lagi sendiri
Sendiri ya, lagi dan lagi sendiri untuk menjalankan ini.
Kemarin, yang lalu, ia dan mereka turut membantu.
Tapi, aku sadar dan paham setiap kami punya cerita yang berbeda.
Ya, aku tidak sendiri wahai hati. Allah senantiasa menyinari langkahku.
Entah ini amanah atau bukan, tetapi ini, ya ini harap dan citaku ketika aku masih duduk dibangku SMA.
Ya, ketika kami berdoa.
Ketika seorang kakak shalihah yang memimpin doa.
Menyebutkan satu-persatu impian kami, akulah orang pertama yang menangis terisak-isak.
Hingga suasana yang semula ramai seketika menjadi hening dan haru.
Aku, ya aku yang membuat teman-temanku pun ikut menangis.
Sesak rasanya, 
karena aku belum bisa jadi kakak yang baik.
Mimpi itu, ya mimpi yang tak pernah terhapus dalam memori otakku.
Akan selalu terekam dengan baik dan rapi.
Mimpi itu, tak pernah lekang oleh waktu.
Meski terkadang ia redup, lalu bersinar kembali, lebih terang.
Ketika aku menyebutkan mimpi itu dihadapan mereka, 
sungguh bibirku kaku, tak mampu untuk digerakkan, seakan terekat oleh lem.
Lalu, kucoba merangkai kata.
Akhirnya aku pun mampu melisankannya.
Mereka tercengang, mungkin merasa iba, atau merasa tersentuh. Entahlah.
Lalu, ia sang kakak shaliha itu mengatakan
"Ika, sesungguhnya Ika sudah memberikan secercah sinar. Ika, kakak dan kami di sini memang tidak selalu bisa membantumu, tapi Ika jangan pernah berhenti sampai di sini. Ada Allah."
Begitulah kiranya.
Kusandarkan semua pada Rabbi Izzati.