Senin, 25 Februari 2013

Event Antologi Puisi dan Cerpen Pilihan JPIN Edisi Perdana, Juli 2013


Ilustrasi: Google
Ilustrasi: Google
Sebagai sarana untuk mendokumentasikan karya, mendorong produktivitas dan kualitas berkarya kepada seluruh anggota JPIN, JPIN Pusat menghadirkan program penerbitan Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Khusus Anggota JPIN dengan frekuensi dua kali dalam setahun, yakni setiap bulan Juli dan Desember.
Penerbitan Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan edisi perdana insyaallah akan diterbitkan pada bulan Juli 2013. Untuk itu, kami mengundang seluruh anggota resmi JPIN untuk berpartisipasi dan ikut ambil bagian dalam program tersebut.
Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut:
  1. Peserta yang ikut adalah anggota resmi JPIN yang sudah teregistrasi. Bila belum, silahkan bergabung dengan mendaftar terlebih dahulu. Prosedur dan persyaratannya, silahkan klik http://www.facebook.com/groups/jp.ilna/doc/375454235856972/
  2. Kirimkan puisi dan cerpen terbaik kamu, dengan ketentuan: puisi minimal 10 puisi, maksimal 20 puisi; dan cerpen minimal 1 cerpen dan maksimal 3 cerpen.
  3. Akan dipilih 100 puisi terbaik untuk dibukukan dari 10 s/d 20 penulis, dan akan dipilih 20 cerpen terbaik yang akan dibukukan dari 20 penulis.
  4. Kirim puisi dan cerpen ke e-mail: redaksi.ilmanafia@gmail.com dengan subjek Antologi Puisi Pilihan JPIN Juli 2013_Nama Penulis (untuk puisi) dan Antologi Cerpen Pilihan JPIN Juli 2013_Nama Penulis (untuk cerpen). Jangan lupa cantumkan bioadata lengkap plus nomor handphone yang bisa dihubungi di bawah naskah (jangan dipisah).
  5. Batas akhir pengiriman naskah (Deadline) 30 April 2013.
  6. Puisi dan cerpen yang dikirim untuk event ini boleh bahkan diutamakan yang sudah pernah dimuat di koran atau majalah dengan menyebutkan nama media yang memuat berikut edisinya.
  7. Puisi dan cerpen yang sudah pernah diikutkan event lomba antologi tidak diperbolehkan diikutkan di event ini, kecuali puisi atau cerpen itu menang lomba (juara 1, 2, atau 3).
  8. Akan benar-benar dipilih puisi dan cerpen yang berkualitas versi JPIN, karena itu pastikan naskah yang dikirim benar-benar berkualitas, baik dari sisi karya itu sendiri maupun penyuntingannya.
  9. Bila setelah proses seleksi, jumlah naskah yang berkualitas dan layak masuk dalan antologi  belum memenuhi kuota, maka event ini akan diperpanjang.
  10. Seluruh peserta yang karyanya masuk di antologi, akan mendapatkan bukti terbit masing-masing 1 eksemplar.
Ayo, segera kirimkan karya terbaik kamu. Jangan lewatkan!

Kamis, 07 Februari 2013

Kekuranganku juga Kelebihanku

Cerpen yang Pertama Kalinya Dilombakan, tapi Alhamdulillah belum menang #kasihan :D

Pagi ini udara begitu sejuk, semilir angin berhembus begitu lembut menusuk hingga ke tulang rusukku. Kicauan burung-burung itu terasa begitu merdu. Ah, semua pasti terasa sangat indah. Dari kejauhan aku mendengar suara anak-anak perempuan, entah berapa umurnya, tapi sepertinya mereka masih kanak-kanak dan sedang berolahraga bersama temannya. Mereka sepertinya bahagia sekali, tertawa bersama. Mungkin mereka membicarakan hal yang menarik, entahlah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas canda dan tawa meliputi mereka. Aku tak bisa melihat semua keindahan dan rasa kebahagiaan itu. Aku hanya bisa mendengar dan merasakan. Panti ini sudah menjadi bagian dari hidupku. Kak Zahra, Ibu Zainab dan Pak Zainal pemilik Panti dan tentunya anak-anak yang berada di Panti. Namaku Humaira saat ini usiaku tujuh belas tahun. Aku di sekolahkan di Sekolah Luar Biasa Islam. Aku kelas sebelas.
                                                            ****

“ Hai, Humaira. kamu sedang apa disini ?” terdengar suara kak Zahra yang begitu lembut.
“Aku hanya ingin duduk disini saja kak, sambil menghirup udara sejuk di pagi hari ini” dengan senyuman manisnya.
“Akhir-akhir ini Kak Zahra sering melihatmu sendiri. Tidak ikut bergabung dengan teman-teman kamu. Ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Kak Zahra.
“ Kakak bukannya sudah tau aku suka menyendiri tanpa seorang pun?” jawab Humaira
“ Tapi kali ini aku melihat ada yang berbeda. Kamu nggak mau berbagi cerita dengan kakak?” sambil memegang tangan Humaira
“Aku, aku (tiba-tiba meneteslah air mata Humaira). Aku rindu dengan keluargaku, aku rindu dengan orang tuaku, Ibu dan Ayah. Aku , aku (menangis terisak-isak) ingin melihat alam ini, aku ingin melihat betapa indahnya alam ini ciptaan-Nya. Aku tak pernah bisa merasakan apa yang Kak Zahra rasakan” 
“Humaira sayang, mengapa kamu berpikir seperti itu? Bukankah selama ini kau tak pernah berpikir seperti itu, bukankah justru kau yang memberikan semangat kepada teman-temanmu dan selalu tampak bersyukur” jawab Kak Zahra
“Kak, ketahuilah aku hanya manusia biasa yang memiliki perasaan ,yang bisa berpikir. Aku hanya manusia yang lemah, manusia biasa yang bisa merasa sesak, sedih, sesal atau sekalipun bahagia. Aku diciptakan sebagai manusia, manusia bisa merasakan ,merasakan apa yang sedang terjadi di hidupnya. Aku hanya manusia biasa” semakin terisak tangisan Humaira.
“Iya, aku mengerti aku mengetahui itu Humaira. Tapi perlu kamu ketahui kamu memiliki banyak kelebihan dibalik kekuranganmu. Kamu bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran, lebih dari sepuluh juz. Kamu bisa membaca ayat Al-Quran dengan suara merdu dan lembut, kamu bisa menulis kata-kata indah, kamu bisa melukiskan alam ini. Dengan matamu yang buta, kamu bisa melukiskan betapa indahnya alam ini, itu kelebihan yang kau punya dan tidak semua orang bisa sepertimu. Bahkan aku tak punya apa yang kau miliki” memeluk Humaira sambil menghapus air matanya.
“Kakak, apakah hidup ini adil untukku? Aku buta sejak kecil, aku tak punya orang tua. Apakah hidup ini adil?” tanya Humaira.
“Tentu saja, hidup ini adil. Setiap orang memiliki orang tua, mungkin Allah telah menakdirkan kamu tinggal di Panti Asuhan ini. Rencana Allah jauh lebih indah dari yang kita duga” nasihat Kak Zahra.
“Selain itu apa buktinya Kak?” tanya Humaira
“Bukti? Banyak, kalau setiap hari hanya ada siang hari, kapan manusia bisa beristirahat dan tidur, kalau setiap manusia hanya merasakan kebahagiaan dia tidak akan merasakan kesedihan, kepahitan yang akan membuat kita kuat dengan hidup ini. Allah Maha Adil, Allah menciptakan semua ini tentu ada manfaatnya dan ada sebab akibatnya. Ada musim kemarau dan musim hujan, ada siang dan malam, bahagia sedih, hitam putih dan baik buruk. Adil bukan?
“Iya, Kak Zahra benar. Aku terlalu bodoh cara berpikirku sangat pendek. Padahal selama ini Kak Zahra, Bu Zainab dan Pak Zainal sering memberikan nasihat, sering memberikan makna hidup dan kehidupan ini” jawab Humaira
“Tidak sayang, kamu tidak bodoh” mencium pipi Humaira yang kemerah-merahan itu.
Ternyata dari tadi, semua orang di Panti mendengar pembicaraanku dengan Kak Zahra. 
“Aduh Kak Zahra dan Kak Humaira so sweet ya ,nangis bareng sambil berpelukan. Mau dong dipeluk” sahut Diah, yang masih kanak-kanak
“Iya Diah, mereka nggak ngajak-ngajak kita” sahut Bu Zainab
“Semoga kamu dapat mengambil pelajaran Humaira. Dan untuk kalian tetaplah saling menguatkan satu sama lain. Tetaplah saling berbagi dalam suka dan duka, dan jadikan hidup ini sebagai sebuah pelajaran dan setiap saat kita harus tetap introspeksi diri” kata Pak Zainal
“Aduh, Pak Zainal ngomong apa sih intopeksi. Udah tau kita nggak ngerti, emang ya orang dewasa kalau ngomong suka aneh” sahut Diah dan Nisa
“Haduh, kamu ini. Introspeksi sayang, bukan intopeksi” sahut Dinda yang suka meledek Diah dan Nisa.
“Yee, terserah kita dong Kak Dinda mau ngomong apa. Wee” sambil meledek
“Ih kamu dikasih tahu juga” dengan wajah kecut
Haha, semua tertawa bersama melihat kelakuan Diah ,Nisa dan Dinda. Lalu kami bergegas ke dalam Panti, karena langit begitu gelap bertanda hujan akan datang. Kami berkumpul bersama di ruang depan Panti, bercanda dan tertawa bersama. 
*** 
Keesokan Harinya,
Adzan berkumandang, ayam-ayam berkokok bersahut-sahutan. Aku segera beranjak dari tempat tidurku lalu mengambil air wudhu. Lagi-lagi si Diah, susah dibangunin dan si Dinda yang jahil membangunkan Diah.
“Diaaahhh, bangun adzan subuh sudah berkumandang” sambil menggelitik Diah.
“Iih, Ka Dinda nih selalu saja begitu. Bangunin aku selalu dengan cara yang kayak gitu, nggak seperti Kak Zahra dan Kak Humaira” dengan wajah kesal.
“Sudah, sudah jangan bertengkar. Ayo Diah bangun kita shalat subuh berjamaah dan kamu Zahra cepat ambil air wudhu” suara lembut Humaira.
“Iyaaa, Kak Humaira” sahut Diah dan Dinda.
Inilah hidup kami, setiap hari kami shalat berjamaah. Dan saling menasehati. 
***
Undangan Lomba
Burung-burung berkicau riang dengan suara merdu, menari-nari indah membentuk formasi yang penuh makna. Kini matahari mulai menghilang ke peraduannya, di belahan barat tampak semburat rona kemerahan. 
“Ehem, kamu hebat ya. Kamu tak bisa melihat tapi kamu benar-benar bisa melukiskan dan menggambarkan betapa indahnya alam ini” mengagetkan Humaira
“Eh, Kak Zahra. Oiya Kak, aku ingin memberikan informasi dari sekolahku” jawab Humaira
“Iya, apa itu?” tanya Kak Zahra
“Begini Kak, sehabis pulang sekolah hari jumat. Aku dapat undangan dari guru agamaku. Aku disuruh ikut lomba MTQ dan mebaca puisi Kak. Tapi aku malu, aku nggak berani” dengan suara pelan.
“Oh ya, kamu dapat undangan lomba MTQ, Humaira” suara kencang
“Ssstt, Kak jangan kencang-kencang aku malu. Lombanya besok Kak” berbisik
“Emang malu kenapa? Suara kamu bagus loh kalau lagi ngaji. Bisa dilantunin lagi, ada nadanya gitu” jawab Kak Zahra
Kak Zahra langsung lari mengelilingi halaman Panti dan memberitahukan kepada semuanya kalau Humaira dapat undangan lomba MTQ dan membaca puisi.
“Ada apa ini Zahra” sahut Bu Zainab dan Pak Zainal
“Humaira dapat undangan dari sekolah untuk ikut lomba MTQ dan membaca puisi” dengan nada riang.
“Oh, benar itu Humaira?” tanya Pak Zainal
“(Humaira tertunduk dengan wajah pipi yang semakin memerah), eem iya Pak, Bu”
“Ibu rasa suara kamu sangat merdu kalau baca Al-Quran apalagi ketika kamu membaca surat Ar-Rahman dan kamu kan sangat cerdas membuat puisi” mengusap wajah Humaira
“Iya, Kak Humaira. Pokoknya Kakak harus ikut, suara Kakak bagus Kakak juga suka bacain puisi untuk aku. Kalau nggak ikut nanti aku ngembek” teriak Diah
“Eem, iya deh aku ikut lombanya” jawab Humaira. 
***
Lomba
Waktu terasa begitu cepat. Hari ini hari senin, semua orang di Panti ini sangat sibuk. Aku yang mau lomba, tapi mereka juga ikut sibuk
“Humaira, kamu sudah siapkan apa saja yang dibutuhkan saat lomba nanti? Tanya Bu Zainab
“Iya, sudah bu” jawab Humaira
“Jangan tegang ya sayang, jangan lupa baca basmallah” mencium pipi Humaira
“Oke ,bu” mencium tangan Bu Zainab
“Ayo kita berangkat” Kak Zahra menarik tangan Humaira
“Ayo, berangkat. Bismillahirrohmanirrohim” 
Setelah sampai di tempat, aku tambah deg-degkan. Banyak sekali pesertanya. 
“Kamu, kenapa Ra?” tanya Kak Zahra
“Aduh, aku deg-degkan nih Kak. Banyak banget pesertanya” 
“Tenang sayang. Tenang” memegang tangan Humaira yang dingin
Setelah menunggu dua jam, akhirnya namaku dipanggil. Aku segera ke panggung.
“Kamu, pasti bisa!” bisik Kak Zahra
“Bismillahirrohmanirrohim” beranjak dari bangkunya.
“Audzubillahiminassyaitanirrojim bismillahirrohmanirrohim. Ar rahman, alamal qur’an” suaranya merdu begitu merdu juga lembut.
Semua orang tercengang. Semua mata tertuju pada Humaira. Juri pun terpesona mendengar suara Humaira. Dan setelah Humaira membaca surat Ar-Rahman, semua bertepuk tangan. Selesai sudah MTQ nya, tapi masih ada satu lagi. Membaca puisi. Aduh, aku memang suka membuat puisi tapi aku kalau membacanya kurang menghayati. Tiba-tiba namaku dipanggil panitia. Kok cepat banget ya, apa yang ikut lomba ini tidak terlalu banyak seperti MTQ. Aku langsung ke panggung dan mengambil posisi yang baik.
“Bismillah” dalam hati
“Puisi ini aku persembahkan untuk seorang perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini, walau aku tak tahu entah dimana ia berada”
Bunda.. (meneteslah air mata Humaira)
Bunda, dimanapun engkau berada kau tetap bundaku..
Seburuk apapun dirimu, kau tetap bundaku..
Bunda, andai kau disini aku akan mencium keningmu dan mengatakan aku sayang bunda..
Bunda, ketahuilah aku tidak pernah membencimu sedikitpun..
Bunda, aku memang tak pernah merasakan lembutnya belaian tanganmu.
Tidak bisa melihat teduhnya wajahmu. Tapi aku merasakan bahwa kau seorang perempuan yang begitu lembut.
Seorang yang memiliki wajah yang teduh. 
*** 
Setelah selesai mengikuti lomba MTQ dan puisi. Semua peserta menunggu keputusan dari juri. Setelah diumumkan ternyata aku juara satu MTQ dan juara dua membaca puisi. Aku pikir, tidak akan menang.
“Wah, Ra. Kamu menang, kamu memang hebat!” mencium pipi Humaira
“Aku juga kaget Kak. Alhamdulillah”
Aku membawa pulang piala dan piagam. Sungguh, ini benar-benar luar biasa.
Sampai di Panti, semua langsung menghampiriku.
“Gimana, Kak Humaira? Tanya Diah, Nisa dan Dinda
“Gimana hasilnya? Tanya Bu Zainab dan Pak Zaial
“Alhamdulillah, juara pertama MTQ dan juara kedua membaca puisi” jawab Humaira
“Wah, selamat Kak. Asik, kita akal ditraktir nih, uhuy” teriak Diah 
“Kamu memang hebat Humaira. Itulah yang kami banggakan darimu. Walaupun kau buta dan harus belajar huruf Braille. Tapi kau sangat cerdas kau bisa belajar dengan cepat bahkan kau bisa menghafal Al-Quran” Pak Zainal
“Jadi, jangan permah kamu berpikir hidup ini tidak adil ya sayang. Karena kekuranganmu juga kelebihanmu” mencium pipi Humaira
“Ya, benar kata Umi kekuranganmu juga kelebihanmu. Aku bangga punya saudara sepertimu” memeluk Humaira
“ Terima kasih semuanya. Aku sangat bahagia memiliki kalian. Aku sangat bersyukur bisa memiliki kalian. Ini semua sungguh lebih dari cukup. Maaf ya Allah aku sempat berpikir negatif” menangislah Humaira.
Lalu suasana pantai menjadi haru, menjadi hening. Kami saling berpelukan. Dan mereka adalah sumber inspirasiku, selalu memberi motivasi, dan mengajariku untuk selalu bersyukur. Terima kasih ya Rabb
--The End--

Selasa, 05 Februari 2013

Ibu, Kaulah Pelita Hidupku

Ibu, kau adalah bidadariku.
Bidadari yang selalu memberikan sebuah senyuman
Bidadari yang selalu memberikan kelembutan dan kasih sayang.
Ibu, kau tak pernah lelah..
Selalu tampak bahagia, walau hatimu tak seperti yang kau perlihatkan..
Ibu, kau tempatku bersandar.
Saatku mulai lelah.
Kau pelipur laraku, saat kesedihan meliputiku.
Kau bagaikan embun penyejuk hatiku.
Ibu, kala ku mendengar suaramu.
Ketika kau lantunkan ayat-ayat suci al-quran.
Bergetarlah hati ini
Sungguh aku merasakan ketenangan
Ibu, kaulah pelita hidupku.
Ibu, kau bagai mentari pagi.
Selalu menghangatkanku
Ibu, kau bagaikan hembusan angin yang begitu lembut.
Mampu membuatku selalu merasa damai bersamamu
Ibu, kau bagai sang bintang,
Cahayamu mampu menerangi jalanku yang mulai redup
Cahayamu selalu bersinar terang dalam hidupku.
Ibu, ibu, ibu.
Kaulah segalanya bagiku.
Ibu, izinkalah aku membahagiakanmu di dunia dan akhirat.
Ibu, takkan ada yang mampu menggantikanmu
Ibu, tersenyumlah selalu
Karena senyummu mampu menghapus lukaku

Bidadari pun Cemburu Padamu

Ku tulis kata per kata, kalimat perkalimat. Entah bagus atau tidak, entah dapat menyentuh hati para pembaca dan mereka. Tapi ku buat untuk mereka yang selalu mengajariku arti tentang sebuah perjuangan ,kesabaran, kejujuran, kasih sayang dan lain-lain. Ana uhibbukifillah ^_^.



Wahai engkau yang lembut hatinya. 
Aku ingin berada di dekatmu selalu.
Wajah cantik dan eloknya tubuhmu, kau balut dengan pakaian yang menjadi perhiasaanmu.
Kau ulurkan jilbabmu dengan baik.
Hingga mata para lelaki takkan mampu melihat perhiasaanmu dengan mudah.
Wahai engkau yang lembut hatinya.
Jikalau kau berbicara, sungguh santun bicaramu.
Jikalau kau lontarkan kat-katamu,
Daun-daun itu merunduk,
seolah mengerti apa yang kau ucapkan.
Jikalau kau diam, diammu bukan hanya lamunan kosong.
Tapi karena dzikir yang kau lantunkan dalam hati.
Hati dan bibir indah basah dengan alunan dzikir nan syahdu.
Jikalau kau marah, masih saja terlihat bersahaja.
Marahmu tak seperti marah, yang melampiaskan segala sesak dan gumpalan-gumpalan keras yang ada di dalam hatimu.
Marahmu bukan marah bagiku marahmu adalah sebuah teguran dan nasihat yang memang harus kau berikan.
Jikalau kau jatuh cinta, cintamu tak pernah tersentuh.
Utuh tak tersentuh, kau simpan dalam diammu,
Engkau selalu berharap mencintai laki-laki yang melabuhkan cintanya pada sang Khalik.
Berusaha untuk menjaga hati dan cintanya sampai pada waktunya.
Wahai engkau yang lembut hatinya.
Sungguh hebat dan luar biasa dirimu,
ketika kau berjuang di jalan Allah.
Tapi hanya hujatan dan cacian yang kau dapatkan.
Ketika kau menorehkan ketulusan,
tetapi hanya kebencian yang kau terima.
Wahai engkau yang lembut hatinya.
Kaulah calon bidadari-bidadari surga,
cantik parasmu, cantik akhlakmu.
Kecantikan yang kau miliki bukan kecantikan semu.
Tapi kecantikan yang takkan pernah pudar,
takkan pernah terhapus oleh massa.
Tak pernah tergantikan olehh dimensi ruang dan waktu.
Wahai engkau yang lembut hatinya, calon bidadari-bidadari surga.
Engkau tetap istiqomah dan aku harap akan selalu istiqomah.
Kau tetap bersiikap manis dan tenang,
dalam setiap kejadian.
Mungkin bidadari-bidadari yang sudah di surga sana akan cemburu padamu..

Bintang Tak Lagi Menampakkan Sinarnya

Malam ini Bintang tenggelam dalam renungan, ditemani dengan sajak tentang perjuangan. Suasana malam hening sekali, tak ada lagi hingar-bingar yang membuat telinga sakit. Hanya ada suara hembusan angin. Udara malam berhembus dengan lembut namun menusuk hingga tulang rusuk dan rongga dada. Bintang menatap hamparan langit yang begitu luas nan indah untuk dipandang. Ribuan bintang berdiri tegap di atas sana, dengan menampakkan cahaya yang begitu berseri. Rembulan pun tersenyum dengan Bintang, seolah ingin menghibur Bintang dari rasa sedih dan kalut yang menghampri.
Bintang sesak sekali, rasanya Bintang ingin menangis dan mengutuk langit. Tapi mana mungkin Bintang mengutuk langit? Langit tidak pernah melakukan kesalahan, justru setiap kali Bintang melihat langit, Bintang merasakan kedamaian. Setiap kali Bintang menatap langit, seolah-olah Bintang melihat Tuhan Yang Maha Agung dengan jarak yang sangat dekat.
Di dalam keheningan ini, Bintang bersimpuh. Bintang mendongakkan kepalanya ke atas. Hingga menangis terisak-isak, sampai sesak dan tak mampu untuk berkata-kata. Lalu, dalam hati Bintang bertanya-tanya.
“Tuhan, apakah hidup ini adil? Mengapa Kau biarkan aku dan Ibu menderita? Di manakah keesaan-Mu? Bukankah Kau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Sampai kapankah aku harus menanggung beban yang terkadang membuatku lemah dan tak berdaya? Aku masih di sini dan tetap bertahan, tapi entah sampai kapan akan tetap bertahan. Sesuatu yang terasa sangat sesak ialah ketika aku harus memberikan senyum, canda dan tawaan kepada setiap yang ada di dekatku, tapi semua tidaklah seperti yang aku rasakan. Semua hanya tipu daya, semua hanya sandiwara. Semua sudah ada skenarionya. Rasanya aku ingin terus berjalan dengan saksama, tapi aku tersandung ,terluka dan perih. Rasanya aku ingin berlari dengan kecepatan tinggi, tapi aku tertatih dan penuh sesak.” Ujar Bintang, lalu air mata menetes hingga nafasnya begitu sesak.
“Semua rasa menjadi satu. Aku, aku hanya seorang gadis yang hidup di tengah-tengah keramaian, hiruk-pikuk, teriakan yang membara dan panasnya terik matahari yang kejam membakar kulit. Aku hanya seorang gadis yang hidup sebagai pengamen dan terkadang menjadi gadis peminta-minta, gadis yang meminta belas kasihan dan menunggu ada yang memberikan uang walau hanya lima ratus rupiah.  Sampai kapanku begini? Entahlah!! Biar waktu yang akan menjawab, mungkin memang Allah sudah merencanakan sesuatu yang indah, kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang kekal dan abadi di langit-Mu.” Bintang masih berusaha untuk tetap kuat dan tegar, walau terkadang ia merasa sangat sesak.
***
Pagi ini udara pagi begitu sejuk, embun di pagi buta menebarkan bau basahnya. Gemericik air mengalir dengan lembutnya. Alunan-alunan nada dan melodi tentang ayat-ayat-Nya begitu syahdu untuk didengar. Begitu lembut untuk dihayati dan meresap dalam kalbu. Oh, betapa indah firman-Nya. Membuat hati merasa lebih damai dan kehidupan pun kembali berjalan. Setidaknya hari ini Bintang sudah lebih baik dari hari kemarin. Ada semangat yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Pagi ini ibu Bintang membaca al-quran dengan suara yang lembut dan merdu, terasa indah sekali. Bintang meneteskan air matanya, ia menangis bukan karena sedih, tetapi karena mendengar ayat suci al-quran yang dilantunkan ibunya.
“Ibu, aku bersyukur karena Allah telah memberikan seorang ibu yang luar biasa. Aku bersyukur karena setiap hari aku bisa mendengarkan ayat suci yang ibu lantunkan. Aku bahagia karena setiap hari ibu selalu menasihatiku untuk selalu mengingat-Nya dan berbuat baik.” Bintang memeluk erat tubuh ibunya.
“Wahai anakku, ibu juga bersyukur memiliki anak seperti Bintang. Bintang selalu membuat ibu bangga, dan selama ini ibu tidak pernah mendengarmu mengeluh. Ibu tahu apa yang kau rasakan, meski kamu tidak pernah cerita.” Lalu ibunya mencium kening Bintang dengan hangat dan penuh kelembutan.
Hari ini hari senin, seperti hari biasa Bintang harus bekerja. Pergi ke terminal untuk mengamen. Tapi sebelum berangkat ke terminal, Bintang mencari kayu bakar untuk memasak. Kasihan Ibu Bintang, sudah tua dan rentan dengan penyakit. Sedangkan ayah Bintang? Entahlah ke mana perginya, yang jelas sudah bertahun-tahun ayah meninggalkan Ibu dan Bintang.
“Bintang, maafkan Ibu seharusnya kini kamu sudah masuk sekolah, dan hari ini adalah hari pertama kamu masuk SMA” ujar sang Ibu
“Bintang bahagia melihat ibu bahagia, yang terpenting ibu selalu ada di samping Bintang. Ibu yang selalu membuat Bintang merasa tenang dan lebih bersyukur dalam menjalani hidup” jawab Bintang
Setelah mencari kayu bakar, Bintang bergegas menuju terminal. Langkah kakinya sangat cepat dan penuh semangat. Bintang selalu memberikan senyuman manis kepada semua orang yang ada di dekat Bintang.
“Pagi Bintang, waah sepertinya kamu selalu tampak ceria dan bahagia ya. Aku tak pernah melihat kamu bersedih apalagi menangis, walaupun kamu dibentak dengan preman dan orang-orang jahat seperti mereka tapi kamu tetap saja kuat dan tegar”
“Iya, Ibu juga tidak pernah mendengar Bintang mengeluh. Bintang selalu patuh dengan orang tuanya, ibadahnya juga sangat luar biasa”
“Iya, namanya juga Bintang. Pasti selalu menampakkan cahayanya dan selalu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya merasa bahagia”
Mereka adalah sahabat dan tetangga Bintang. Mereka seperti keluarga Bintang sendiri, selalu membuat Bintang optimis dalam menjalani hari-hari. Inilah hidup, walau pahit namun harus tetap berjalan. Hingga suatu ketika nanti Bintang akan meraih kemenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Hari ini langit begitu biru awan pun cerah. Terik matahari tak sejahat seperti biasanya. Jalan menuju terminal masih dua puluh menit lagi. Di sini biasanya Bintang mengamen atau bahkan meminta-minta karena keterpaksaan. Di ujung terminal sana sudah ada preman-preman yang mengawasi para pengamen dan peminta-minta yang ada di terminal. Mereka memang licik dan jahat, suka merampas duit orang seenaknya saja, bahkan sampai berbuat keras dan kasar. Tapi untungnya Bintang lolos dari terkaan preman dan orang-orang licik. Lalu ia pun melanjutkan tugasnya seperti biasanya.
“Misi mba dan mas, semoga lagu ini bisa menghibur ya” Bintang pun bernyanyi dengan suara merdunya
Semua tersenyum dan tertawa melihat Bintang menyanyi. Tubuhnya yang mungil, gigi kelincinya yang lucu dan wajahnya yang imut membuat semua yang ada di tempat itu menyaksikan penampilan Bintang. Semua bersorak-sorai gembira sambil bernyanyi bersama.
“Hai gadis kecil yang imut, siapa namamu?” Tanya seorang perempuan yang duduk di terminal
“Namaku Bintang” jawab Bintang
“Nama yang indah, semoga bisa seperti bintang yang sinarnya begitu indah dan membuat orang terpesona setiap kali melihat Bintang.” Ujar salah seorang perempuan yang sedang duduk di terminal.
Bintang, ya nama yang diberikan oleh ibunya. Ibu yang selalu membuat ia kuat dan tegar dalam menghadapi kehidupan yang pahit. Dunia yang kejam dan penuh dusta. Namun, ibu selalu membuat ia merasa bangga akan kata-katanya. Ibu yang selalu menasihatinya untuk tetap menampakkan sinarnya, walau sedang berduka. Itulah yang membuat ia terus bertahan menjalankan kehidupan yang selalu berputar dan berubah.
“Hari ini aku bersyukur dan bahagia, karena hari ini semua berjalan dengan baik. Aku mendapatkan hasil yang memuaskan setelah mengamen. Hari ini aku ingin membeli sesuatu untuk ibu, aku ingin membeli mukena. Aku ingin ibu mengenakan mukena baru, agar wajahnya terlihat lebih cerah dan lebih mempesona.” Bintang merasa sangat bahagia karena ia mampu membeli mukena untuk ibunya.
            Bintang tak dapat membayangkan jika ia sudah sampai di rumah pasti ibunya sedang merebahkan tubuhnya, ibunya pasti merasa lelah dan capek. Sudah dua tahun ibunya sakit keras, itulah yang membuat Bintang merelakan sekolahnya. Karena ia tahu, bahwa ada yang jauh lebih penting, yaitu ibu yang selama ini membesarkan dan merawatnya dengan baik. Hari ini Bintang membeli mukena karena ingin ibunya memakai mukena yang layak untuk dipakai saat shalat. Bintang nggak sabar untuk sampai di rumah, Bintang ingin memberikan kejutan untuk ibunya.
Tak terasa kini sudah berganti waktu. Senja pun menyapa, semburat rona kemerahan nampak di bagian ufuk barat. Burung-burung camar menari indah di atas langit, membentuk formasi penuh makna. Bernyanyi dengan riang dan tanpa beban. Hari ini, dan suasana hari ini seperti hati Bintang, sangat bahagia. Sepanjang jalan, Bintang menebarkan senyum manisnya. Berjalan dengan semangat dan tanpa beban. Namun, setelah sampai di rumah kebahagiaan yang baru Bintang rasakan hilang seketika.
Kebakaran, itulah musibah yang ditimpa Bintang. Tubuhnya tergulai lemah, napasnya tersengal, matanya memancarkan kesedihan dan luka yang mendalam. Namun yang ada di benak Bintang hanya satu, yaitu Ibu.
“Ibu di mana? Jangan tinggalin aku, bu.” Bintang tak kuasa menahan air matanya, hingga air matanya jatuh membasahi pipinya.
Tapi semua menahan Bintang, menarik tangan Bintang dan memeluk Bintang dengan erat dan penuh iba. Semua menatap Bintang dengan tatapan sendu dan penuh dengan belas kasihan.
“Apa yang kalian lakukan, mengapa menghalangiku? Di mana Ibu?.” Bintang teriak dengan suara lantang.
“Lihat! Lihatlah! Rumah yang selama ini aku tempati, rumah yang selama ini menyisakan sebuah masa yang indah tentang aku dan ibuku, kini hangus terbakar. Tanpa sisa! Namun bukan itu yang membuat aku sesak, bukan karena rumah itu, bukan karena isinya. Tapi karena Ibu! Bodoh kalian! Kenapa kalian tidak menolong Ibu? Mengapa kalian tidak menolong Ibu yang sedang tergulai lemah, mengapa? Mengapa kalian egois? Mengapa kalian membiarkan Ibu di dalam sana, mengapa?.” Bintang sangat kecewa karena ia tak dapat menolong ibunya, kekecewaan Bintang membuncah di langit-langit kehidupan.
“Mengapa semua berlalu dan terjadi dengan cepat? Kebahagiaan yang baru saja aku rasakan kini hilang begitu saja. Mengapa aku tak pernah merasa bahagia, wahai Rabbku? Selama ini aku berusaha untuk selalu bersyukur, meski terkadang aku merasa semua tidak adil. Selama ini aku berusaha untuk tetap tegar, walau kenyataannya aku merasa sangat tak berdaya. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikan kesedihanku kepada semua orang yang berada di sekelilingku. Mengapa Kau tak pernah membiarkan aku merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Mengapa ,mengapa Rabb?.” Bintang memejamkan mata dan mengigit bibirnya hingga terluka
Semua hilang tanpa jejak, semua hilang tanpa sisa. Sesak, marah, benci, semua rasa menjadi satu. Kini ibunya telah pergi, bukan hanya pergi untuk sementara tapi pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali ke dunia. Benar-benar menyakitkan dan menyesakkan. Semua pergi begitu saja.
Bintang terdiam dan termenung meratapi Ibunya. Wanita yang begitu lembut dan sabar. Ibu yang mampu mengubah segalanya menjadi indah. Kini tak ada lagi wajah yang mampu memberikan semangat, tak ada lagi belaian lembut dari tangannya, tak ada lagi tatapan sendu yang diperlihatkannya. Hatinya seperti tertancap panah yang sangat tajam. Hatinya seperti ditimpa batu beton. Hahaha, ia tertawa dalam kesedihan dan duka yang meliputinya.
Pagi ini Ibunya dimakamkan. Bintang tak mampu berkata-kata, bibirnya kaku. Ia menatap ibunya dengan tatapan penuh luka, ia menatap ibunya lamat-lamat, ia tak menyangka ibu yang selama ini sangat ia cintai pergi selamanya, ibu yang selama ini mampu menghapus lukanya pergi dengan begitu cepat.
Cuaca pagi ini sangat mendukung, mendung dan tak ada mentari pagi yang mampu menghangatkan. Tak ada kicauan burung yang merdu dan indah, semua terasa sunyi.
Bintang belum beranjak dari tempat pemakaman ibunya, ia masih menatap makam ibunya dengan tatapan yang hampa. Mengusap lembut nisan ibunya, dan menaburkan bunga di makam ibunya.
 “Mengapa ibu meninggalkan aku dalam kesendirian? Aku hidup dengan siapa? Aku harus ke mana? Seandainya ibu masih hidup, aku akan memberikan mukena ini untuk ibu. Tapi kini, ibu sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.” Bintang mendekap erat mukena yang ia beli untuk ibunya.
“Aku tak punya siapa-siapa lagi. Hancur! Sebelum hari ini aku memiliki harapan dan mimpi-mimpi baru yang ingin aku gapai, dan inginku tunjukkan pada ibu. Tapi kini? Semua hancur berkeping-keping, kepingannya berserakan entah ke mana. Oh, mungkin terbawa angin atau terbawa ombak.” Bintang merasa semua hilang tanpa menyisakan jejak, seperti mimpi di dalam tidurnya yang nyenyak.
Kini Bintang tak seperti dahulu. Ia tak mampu untuk tersenyum manis dengan wajah riang, kini ia benar-benar merasa sendiri. Tak ada lagi semangat untuk menjalankan hidupnya. Bintang yang selama ini mampu menyinari di setiap sudut-sudut yang gelap dan pekat, kini tak mampu untuk menyinari sudut yang gelap itu, kini ia tak mampu menampakkan sinarnya dengan terang benderang. Sinarnya semakin memudar dan tak bermakna.
Bintang berjalan dan terus menyusuri jalan selama tiga hari, tak ada arah dan tujuan jelas. Langkah kakinya terhenti sejenak. Sakit! Perutnya sakit! Bintang ingin makan, tapi tak memiliki uang. Bintang ingin beristirahat, tapi entah di mana ia harus beristirahat. Bintang terus berjalan, meski ia harus berjalan dengan tertatih-tatih. Lalu ia melihat surau yang berwarna hijau, Bintang menuju surau itu sebagai tempat peristirahatan. Di sini Bintang merasa sangat kesepian, ia merasa sendiri. Tak ada lagi teman untuk berbagi. Setelah beristirahat sejenak, Bintang shalat tahajud. Di sepertiga malam ini, Bintang menumpahkan segala isi hatinya, Bintang mencurahkan segala isi hatinya kepada Allah Yang Maha Agung. Hingga meneteslah air matanya.

“Allahu Rabb, inikah cara-Mu mengusap lembut hati dan perasaan hamba-Mu ini? Jika aku boleh memilih ,aku ingin Kau ambil nyawaku hari ini, aku hanya ingin bertemu dengan ibu. Aku ingin bersama ibu, apa Kau tak punya rasa belas kasihan kepadaku? Apakah ini adil untukku? Tidak! Ini semua tidak adil untukku. Semua yang aku rasakan selama ini sama sekali tidak ada letak keadilannya. Aku berusaha untuk melupakan ayahku yang selama ini meninggalkanku dan ibu. Aku berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi dunia yang kejam. Aku berusaha untuk melupakan semua mimpiku di sekolah. Apa aku terlalu kotor dan hina? Sehingga Kau timpakan semua beban yang begitu berat untuk aku pikul.” Bintang sesak, hingga ia berfikir Allah sangat tidak adil.
Setelah shalat dan mencurahkan segala isi hatinya, Bintang melanjutkan perjalanannya. Tak peduli jika ia harus berjalan di tengah-tengah malam dan kesunyian yang menghampiri. Lalu ia duduk di sembarang tempat, dengan memasang wajah penuh belas kasihan dan menengadahkan tangannya. Ia sangat lelah, sampai tak mampu untuk berjalan. Wajahnya pun pucat dan matanya memancarkan duka yang sangat mendalam. Malam ini terasa sangat dingin, angin berhembus dengan kecepatan tinggi.
“Entah sampai kapan semua ini berakhir. Oh, Ibuuuuuuuu. Aku sakit, aku lapar, aku mengigil kedinginan” Bintang merasa tak ada lagi yang mampu mendekapnya saat ia sakit, saat ia merasa kedinginan.
“Aku ingin bersama ibu, aku ingin di dekatmu. Tapi kapan? Jika suatu hari nanti aku pergi, memang itulah yang terbaik. Aku ingin menjemput kebahagiaan yang selama ini aku inginkan. Di sanalah, tempat yang paling indah dan abadi. Jika memang aku harus menenggelamkan sinarku, biarlah sinarku ini nampak di sana.” Bintang tak memiliki semangat untuk hidup, karena jika ia hidup takkan mampu mengembalikan semua yang sudah terjadi.
Kini Bintang semakin tak mampu menampakkan sinarnya dengan jelas. Wajah pucat, bibirnya kaku, kakinya pun tak sanggup untuk melangkah. Tubuhnya tergulai lemah, namun Bintang tetap menatap hamparan langit yang begitu luas nan indah. Ribuan bintang-bintang menampakkan sinarnya, terang sekali. Mampu menyinari sudut malam di kota yang gelap gulita. Semua formasi bintang malam ini sangatlah rapi, memiliki makna yang tersirat. Namun, ada satu bintang yang sangat redup. Bintang, bintang itu ialah Bintang yang sedang tergulai lemah. Bintang itu mulai redup. Bintang itu tenggelam membawa segala suka dan duka yang meliputinya.



_The End_