Malam
ini Bintang tenggelam dalam renungan, ditemani dengan sajak tentang perjuangan.
Suasana malam hening sekali, tak ada lagi hingar-bingar yang membuat telinga
sakit. Hanya ada suara hembusan angin. Udara malam berhembus dengan lembut
namun menusuk hingga tulang rusuk dan rongga dada. Bintang menatap hamparan
langit yang begitu luas nan indah untuk dipandang. Ribuan bintang berdiri tegap
di atas sana, dengan menampakkan cahaya yang begitu berseri. Rembulan pun
tersenyum dengan Bintang, seolah ingin menghibur Bintang dari rasa sedih dan kalut
yang menghampri.
Bintang
sesak sekali, rasanya Bintang ingin menangis dan mengutuk langit. Tapi mana
mungkin Bintang mengutuk langit? Langit tidak pernah melakukan kesalahan,
justru setiap kali Bintang melihat langit, Bintang merasakan kedamaian. Setiap
kali Bintang menatap langit, seolah-olah Bintang melihat Tuhan Yang Maha Agung
dengan jarak yang sangat dekat.
Di
dalam keheningan ini, Bintang bersimpuh. Bintang mendongakkan kepalanya ke atas.
Hingga menangis terisak-isak, sampai sesak dan tak mampu untuk berkata-kata.
Lalu, dalam hati Bintang bertanya-tanya.
“Tuhan,
apakah hidup ini adil? Mengapa Kau biarkan aku dan Ibu menderita? Di manakah
keesaan-Mu? Bukankah Kau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Sampai kapankah aku
harus menanggung beban yang terkadang membuatku lemah dan tak berdaya? Aku
masih di sini dan tetap bertahan, tapi entah sampai kapan akan tetap bertahan.
Sesuatu yang terasa sangat sesak ialah ketika aku harus memberikan senyum,
canda dan tawaan kepada setiap yang ada di dekatku, tapi semua tidaklah seperti
yang aku rasakan. Semua hanya tipu daya, semua hanya sandiwara. Semua sudah ada
skenarionya. Rasanya aku ingin terus berjalan dengan saksama, tapi aku tersandung
,terluka dan perih. Rasanya aku ingin berlari dengan kecepatan tinggi, tapi aku
tertatih dan penuh sesak.” Ujar Bintang, lalu air mata menetes hingga nafasnya
begitu sesak.
“Semua
rasa menjadi satu. Aku, aku hanya seorang gadis yang hidup di tengah-tengah
keramaian, hiruk-pikuk, teriakan yang membara dan panasnya terik matahari yang
kejam membakar kulit. Aku hanya seorang gadis yang hidup sebagai pengamen dan
terkadang menjadi gadis peminta-minta, gadis yang meminta belas kasihan dan menunggu
ada yang memberikan uang walau hanya lima ratus rupiah. Sampai kapanku begini? Entahlah!! Biar waktu
yang akan menjawab, mungkin memang Allah sudah merencanakan sesuatu yang indah,
kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang kekal dan abadi di langit-Mu.”
Bintang masih berusaha untuk tetap kuat dan tegar, walau terkadang ia merasa
sangat sesak.
***
Pagi
ini udara pagi begitu sejuk, embun di pagi buta menebarkan bau basahnya.
Gemericik air mengalir dengan lembutnya. Alunan-alunan nada dan melodi tentang
ayat-ayat-Nya begitu syahdu untuk didengar. Begitu lembut untuk dihayati dan
meresap dalam kalbu. Oh, betapa indah firman-Nya. Membuat hati merasa lebih
damai dan kehidupan pun kembali berjalan. Setidaknya hari ini Bintang sudah
lebih baik dari hari kemarin. Ada semangat yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Pagi
ini ibu Bintang membaca al-quran dengan suara yang lembut dan merdu, terasa indah
sekali. Bintang meneteskan air matanya, ia menangis bukan karena sedih, tetapi
karena mendengar ayat suci al-quran yang dilantunkan ibunya.
“Ibu,
aku bersyukur karena Allah telah memberikan seorang ibu yang luar biasa. Aku
bersyukur karena setiap hari aku bisa mendengarkan ayat suci yang ibu
lantunkan. Aku bahagia karena setiap hari ibu selalu menasihatiku untuk selalu
mengingat-Nya dan berbuat baik.” Bintang memeluk erat tubuh ibunya.
“Wahai
anakku, ibu juga bersyukur memiliki anak seperti Bintang. Bintang selalu
membuat ibu bangga, dan selama ini ibu tidak pernah mendengarmu mengeluh. Ibu tahu
apa yang kau rasakan, meski kamu tidak pernah cerita.” Lalu ibunya mencium
kening Bintang dengan hangat dan penuh kelembutan.
Hari
ini hari senin, seperti hari biasa Bintang harus bekerja. Pergi ke terminal
untuk mengamen. Tapi sebelum berangkat ke terminal, Bintang mencari kayu bakar
untuk memasak. Kasihan Ibu Bintang, sudah tua dan rentan dengan penyakit.
Sedangkan ayah Bintang? Entahlah ke mana perginya, yang jelas sudah
bertahun-tahun ayah meninggalkan Ibu dan Bintang.
“Bintang,
maafkan Ibu seharusnya kini kamu sudah masuk sekolah, dan hari ini adalah hari
pertama kamu masuk SMA” ujar sang Ibu
“Bintang
bahagia melihat ibu bahagia, yang terpenting ibu selalu ada di samping Bintang.
Ibu yang selalu membuat Bintang merasa tenang dan lebih bersyukur dalam menjalani
hidup” jawab Bintang
Setelah
mencari kayu bakar, Bintang bergegas menuju terminal. Langkah kakinya sangat
cepat dan penuh semangat. Bintang selalu memberikan senyuman manis kepada semua
orang yang ada di dekat Bintang.
“Pagi
Bintang, waah sepertinya kamu selalu tampak ceria dan bahagia ya. Aku tak
pernah melihat kamu bersedih apalagi menangis, walaupun kamu dibentak dengan
preman dan orang-orang jahat seperti mereka tapi kamu tetap saja kuat dan
tegar”
“Iya,
Ibu juga tidak pernah mendengar Bintang mengeluh. Bintang selalu patuh dengan
orang tuanya, ibadahnya juga sangat luar biasa”
“Iya,
namanya juga Bintang. Pasti selalu menampakkan cahayanya dan selalu membuat
orang-orang yang berada di sekelilingnya merasa bahagia”
Mereka
adalah sahabat dan tetangga Bintang. Mereka seperti keluarga Bintang sendiri,
selalu membuat Bintang optimis dalam menjalani hari-hari. Inilah hidup, walau
pahit namun harus tetap berjalan. Hingga suatu ketika nanti Bintang akan meraih
kemenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Hari
ini langit begitu biru awan pun cerah. Terik matahari tak sejahat seperti
biasanya. Jalan menuju terminal masih dua puluh menit lagi. Di sini biasanya Bintang
mengamen atau bahkan meminta-minta karena keterpaksaan. Di ujung terminal sana
sudah ada preman-preman yang mengawasi para pengamen dan peminta-minta yang ada
di terminal. Mereka memang licik dan jahat, suka merampas duit orang seenaknya
saja, bahkan sampai berbuat keras dan kasar. Tapi untungnya Bintang lolos dari
terkaan preman dan orang-orang licik. Lalu ia pun melanjutkan tugasnya seperti
biasanya.
“Misi
mba dan mas, semoga lagu ini bisa menghibur ya” Bintang pun bernyanyi dengan
suara merdunya
Semua
tersenyum dan tertawa melihat Bintang menyanyi. Tubuhnya yang mungil, gigi kelincinya
yang lucu dan wajahnya yang imut membuat semua yang ada di tempat itu
menyaksikan penampilan Bintang. Semua bersorak-sorai gembira sambil bernyanyi
bersama.
“Hai
gadis kecil yang imut, siapa namamu?” Tanya seorang perempuan yang duduk di
terminal
“Namaku
Bintang” jawab Bintang
“Nama
yang indah, semoga bisa seperti bintang yang sinarnya begitu indah dan membuat
orang terpesona setiap kali melihat Bintang.” Ujar salah seorang perempuan yang
sedang duduk di terminal.
Bintang,
ya nama yang diberikan oleh ibunya. Ibu yang selalu membuat ia kuat dan tegar
dalam menghadapi kehidupan yang pahit. Dunia yang kejam dan penuh dusta. Namun,
ibu selalu membuat ia merasa bangga akan kata-katanya. Ibu yang selalu
menasihatinya untuk tetap menampakkan sinarnya, walau sedang berduka. Itulah
yang membuat ia terus bertahan menjalankan kehidupan yang selalu berputar dan
berubah.
“Hari
ini aku bersyukur dan bahagia, karena hari ini semua berjalan dengan baik. Aku
mendapatkan hasil yang memuaskan setelah mengamen. Hari ini aku ingin membeli
sesuatu untuk ibu, aku ingin membeli mukena. Aku ingin ibu mengenakan mukena
baru, agar wajahnya terlihat lebih cerah dan lebih mempesona.” Bintang merasa
sangat bahagia karena ia mampu membeli mukena untuk ibunya.
Bintang tak dapat membayangkan jika
ia sudah sampai di rumah pasti ibunya sedang merebahkan tubuhnya, ibunya pasti
merasa lelah dan capek. Sudah dua tahun ibunya sakit keras, itulah yang membuat
Bintang merelakan sekolahnya. Karena ia tahu, bahwa ada yang jauh lebih
penting, yaitu ibu yang selama ini membesarkan dan merawatnya dengan baik. Hari
ini Bintang membeli mukena karena ingin ibunya memakai mukena yang layak untuk
dipakai saat shalat. Bintang nggak sabar untuk sampai di rumah, Bintang ingin
memberikan kejutan untuk ibunya.
Tak
terasa kini sudah berganti waktu. Senja pun menyapa, semburat rona kemerahan nampak
di bagian ufuk barat. Burung-burung camar menari indah di atas langit,
membentuk formasi penuh makna. Bernyanyi dengan riang dan tanpa beban. Hari
ini, dan suasana hari ini seperti hati Bintang, sangat bahagia. Sepanjang
jalan, Bintang menebarkan senyum manisnya. Berjalan dengan semangat dan tanpa
beban. Namun, setelah sampai di rumah kebahagiaan yang baru Bintang rasakan
hilang seketika.
Kebakaran,
itulah musibah yang ditimpa Bintang. Tubuhnya tergulai lemah, napasnya
tersengal, matanya memancarkan kesedihan dan luka yang mendalam. Namun yang ada
di benak Bintang hanya satu, yaitu Ibu.
“Ibu
di mana? Jangan tinggalin aku, bu.” Bintang tak kuasa menahan air matanya,
hingga air matanya jatuh membasahi pipinya.
Tapi
semua menahan Bintang, menarik tangan Bintang dan memeluk Bintang dengan erat
dan penuh iba. Semua menatap Bintang dengan tatapan sendu dan penuh dengan
belas kasihan.
“Apa
yang kalian lakukan, mengapa menghalangiku? Di mana Ibu?.” Bintang teriak
dengan suara lantang.
“Lihat!
Lihatlah! Rumah yang selama ini aku tempati, rumah yang selama ini menyisakan
sebuah masa yang indah tentang aku dan ibuku, kini hangus terbakar. Tanpa sisa!
Namun bukan itu yang membuat aku sesak, bukan karena rumah itu, bukan karena
isinya. Tapi karena Ibu! Bodoh kalian! Kenapa kalian tidak menolong Ibu?
Mengapa kalian tidak menolong Ibu yang sedang tergulai lemah, mengapa? Mengapa
kalian egois? Mengapa kalian membiarkan Ibu di dalam sana, mengapa?.” Bintang
sangat kecewa karena ia tak dapat menolong ibunya, kekecewaan Bintang membuncah
di langit-langit kehidupan.
“Mengapa
semua berlalu dan terjadi dengan cepat? Kebahagiaan yang baru saja aku rasakan
kini hilang begitu saja. Mengapa aku tak pernah merasa bahagia, wahai Rabbku?
Selama ini aku berusaha untuk selalu bersyukur, meski terkadang aku merasa
semua tidak adil. Selama ini aku berusaha untuk tetap tegar, walau kenyataannya
aku merasa sangat tak berdaya. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikan
kesedihanku kepada semua orang yang berada di sekelilingku. Mengapa Kau tak
pernah membiarkan aku merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain.
Mengapa ,mengapa Rabb?.” Bintang memejamkan mata dan mengigit bibirnya hingga
terluka
Semua
hilang tanpa jejak, semua hilang tanpa sisa. Sesak, marah, benci, semua rasa
menjadi satu. Kini ibunya telah pergi, bukan hanya pergi untuk sementara tapi
pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali ke dunia. Benar-benar
menyakitkan dan menyesakkan. Semua pergi begitu saja.
Bintang
terdiam dan termenung meratapi Ibunya. Wanita yang begitu lembut dan sabar. Ibu
yang mampu mengubah segalanya menjadi indah. Kini tak ada lagi wajah yang mampu
memberikan semangat, tak ada lagi belaian lembut dari tangannya, tak ada lagi
tatapan sendu yang diperlihatkannya. Hatinya
seperti tertancap panah yang sangat tajam. Hatinya seperti ditimpa batu beton.
Hahaha, ia tertawa dalam kesedihan dan duka yang meliputinya.
Pagi
ini Ibunya dimakamkan. Bintang tak mampu berkata-kata, bibirnya kaku. Ia menatap
ibunya dengan tatapan penuh luka, ia menatap ibunya lamat-lamat, ia tak
menyangka ibu yang selama ini sangat ia cintai pergi selamanya, ibu yang selama
ini mampu menghapus lukanya pergi dengan begitu cepat.
Cuaca
pagi ini sangat mendukung, mendung dan tak ada mentari pagi yang mampu
menghangatkan. Tak ada kicauan burung yang merdu dan indah, semua terasa sunyi.
Bintang
belum beranjak dari tempat pemakaman ibunya, ia masih menatap makam ibunya
dengan tatapan yang hampa. Mengusap lembut nisan ibunya, dan menaburkan bunga
di makam ibunya.
“Mengapa ibu meninggalkan aku dalam
kesendirian? Aku hidup dengan siapa? Aku harus ke mana? Seandainya ibu masih
hidup, aku akan memberikan mukena ini untuk ibu. Tapi kini, ibu sudah pergi
meninggalkanku untuk selamanya.” Bintang mendekap erat mukena yang ia beli
untuk ibunya.
“Aku
tak punya siapa-siapa lagi. Hancur! Sebelum hari ini aku memiliki harapan dan
mimpi-mimpi baru yang ingin aku gapai, dan inginku tunjukkan pada ibu. Tapi
kini? Semua hancur berkeping-keping, kepingannya berserakan entah ke mana. Oh,
mungkin terbawa angin atau terbawa ombak.” Bintang merasa semua hilang tanpa
menyisakan jejak, seperti mimpi di dalam tidurnya yang nyenyak.
Kini
Bintang tak seperti dahulu. Ia tak mampu untuk tersenyum manis dengan wajah
riang, kini ia benar-benar merasa sendiri. Tak ada lagi semangat untuk
menjalankan hidupnya. Bintang yang selama ini mampu menyinari di setiap
sudut-sudut yang gelap dan pekat, kini tak mampu untuk menyinari sudut yang
gelap itu, kini ia tak mampu menampakkan sinarnya dengan terang benderang.
Sinarnya semakin memudar dan tak bermakna.
Bintang
berjalan dan terus menyusuri jalan selama tiga hari, tak ada arah dan tujuan
jelas. Langkah kakinya terhenti sejenak. Sakit! Perutnya sakit! Bintang ingin
makan, tapi tak memiliki uang. Bintang ingin beristirahat, tapi entah di mana
ia harus beristirahat. Bintang terus berjalan, meski ia harus berjalan dengan
tertatih-tatih. Lalu ia melihat surau yang berwarna hijau, Bintang menuju surau
itu sebagai tempat peristirahatan. Di sini Bintang merasa sangat kesepian, ia
merasa sendiri. Tak ada lagi teman untuk berbagi. Setelah beristirahat sejenak,
Bintang shalat tahajud. Di sepertiga malam ini, Bintang menumpahkan segala isi
hatinya, Bintang mencurahkan segala isi hatinya kepada Allah Yang Maha Agung.
Hingga meneteslah air matanya.
“Allahu
Rabb, inikah cara-Mu mengusap lembut hati dan perasaan hamba-Mu ini? Jika aku
boleh memilih ,aku ingin Kau ambil nyawaku hari ini, aku hanya ingin bertemu
dengan ibu. Aku ingin bersama ibu, apa Kau tak punya rasa belas kasihan
kepadaku? Apakah ini adil untukku? Tidak! Ini semua tidak adil untukku. Semua
yang aku rasakan selama ini sama sekali tidak ada letak keadilannya. Aku
berusaha untuk melupakan ayahku yang selama ini meninggalkanku dan ibu. Aku
berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi dunia yang kejam. Aku
berusaha untuk melupakan semua mimpiku di sekolah. Apa aku terlalu kotor dan
hina? Sehingga Kau timpakan semua beban yang begitu berat untuk aku pikul.”
Bintang sesak, hingga ia berfikir Allah sangat tidak adil.
Setelah
shalat dan mencurahkan segala isi hatinya, Bintang melanjutkan perjalanannya.
Tak peduli jika ia harus berjalan di tengah-tengah malam dan kesunyian yang
menghampiri. Lalu ia duduk di sembarang tempat, dengan memasang wajah penuh
belas kasihan dan menengadahkan tangannya. Ia sangat lelah, sampai tak mampu
untuk berjalan. Wajahnya pun pucat dan matanya memancarkan duka yang sangat
mendalam. Malam ini terasa sangat dingin, angin berhembus dengan kecepatan
tinggi.
“Entah
sampai kapan semua ini berakhir. Oh, Ibuuuuuuuu. Aku sakit, aku lapar, aku
mengigil kedinginan” Bintang merasa tak ada lagi yang mampu mendekapnya saat ia
sakit, saat ia merasa kedinginan.
“Aku
ingin bersama ibu, aku ingin di dekatmu. Tapi kapan? Jika suatu hari nanti aku
pergi, memang itulah yang terbaik. Aku ingin menjemput kebahagiaan yang selama
ini aku inginkan. Di sanalah, tempat yang paling indah dan abadi. Jika memang
aku harus menenggelamkan sinarku, biarlah sinarku ini nampak di sana.” Bintang tak
memiliki semangat untuk hidup, karena jika ia hidup takkan mampu mengembalikan
semua yang sudah terjadi.
Kini
Bintang semakin tak mampu menampakkan sinarnya dengan jelas. Wajah pucat, bibirnya
kaku, kakinya pun tak sanggup untuk melangkah. Tubuhnya tergulai lemah, namun
Bintang tetap menatap hamparan langit yang begitu luas nan indah. Ribuan bintang-bintang
menampakkan sinarnya, terang sekali. Mampu menyinari sudut malam di kota yang
gelap gulita. Semua formasi bintang malam ini sangatlah rapi, memiliki makna
yang tersirat. Namun, ada satu bintang yang sangat redup. Bintang, bintang itu
ialah Bintang yang sedang tergulai lemah. Bintang itu mulai redup. Bintang itu
tenggelam membawa segala suka dan duka yang meliputinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar