Selasa, 05 Februari 2013

Bintang Tak Lagi Menampakkan Sinarnya

Malam ini Bintang tenggelam dalam renungan, ditemani dengan sajak tentang perjuangan. Suasana malam hening sekali, tak ada lagi hingar-bingar yang membuat telinga sakit. Hanya ada suara hembusan angin. Udara malam berhembus dengan lembut namun menusuk hingga tulang rusuk dan rongga dada. Bintang menatap hamparan langit yang begitu luas nan indah untuk dipandang. Ribuan bintang berdiri tegap di atas sana, dengan menampakkan cahaya yang begitu berseri. Rembulan pun tersenyum dengan Bintang, seolah ingin menghibur Bintang dari rasa sedih dan kalut yang menghampri.
Bintang sesak sekali, rasanya Bintang ingin menangis dan mengutuk langit. Tapi mana mungkin Bintang mengutuk langit? Langit tidak pernah melakukan kesalahan, justru setiap kali Bintang melihat langit, Bintang merasakan kedamaian. Setiap kali Bintang menatap langit, seolah-olah Bintang melihat Tuhan Yang Maha Agung dengan jarak yang sangat dekat.
Di dalam keheningan ini, Bintang bersimpuh. Bintang mendongakkan kepalanya ke atas. Hingga menangis terisak-isak, sampai sesak dan tak mampu untuk berkata-kata. Lalu, dalam hati Bintang bertanya-tanya.
“Tuhan, apakah hidup ini adil? Mengapa Kau biarkan aku dan Ibu menderita? Di manakah keesaan-Mu? Bukankah Kau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Sampai kapankah aku harus menanggung beban yang terkadang membuatku lemah dan tak berdaya? Aku masih di sini dan tetap bertahan, tapi entah sampai kapan akan tetap bertahan. Sesuatu yang terasa sangat sesak ialah ketika aku harus memberikan senyum, canda dan tawaan kepada setiap yang ada di dekatku, tapi semua tidaklah seperti yang aku rasakan. Semua hanya tipu daya, semua hanya sandiwara. Semua sudah ada skenarionya. Rasanya aku ingin terus berjalan dengan saksama, tapi aku tersandung ,terluka dan perih. Rasanya aku ingin berlari dengan kecepatan tinggi, tapi aku tertatih dan penuh sesak.” Ujar Bintang, lalu air mata menetes hingga nafasnya begitu sesak.
“Semua rasa menjadi satu. Aku, aku hanya seorang gadis yang hidup di tengah-tengah keramaian, hiruk-pikuk, teriakan yang membara dan panasnya terik matahari yang kejam membakar kulit. Aku hanya seorang gadis yang hidup sebagai pengamen dan terkadang menjadi gadis peminta-minta, gadis yang meminta belas kasihan dan menunggu ada yang memberikan uang walau hanya lima ratus rupiah.  Sampai kapanku begini? Entahlah!! Biar waktu yang akan menjawab, mungkin memang Allah sudah merencanakan sesuatu yang indah, kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang kekal dan abadi di langit-Mu.” Bintang masih berusaha untuk tetap kuat dan tegar, walau terkadang ia merasa sangat sesak.
***
Pagi ini udara pagi begitu sejuk, embun di pagi buta menebarkan bau basahnya. Gemericik air mengalir dengan lembutnya. Alunan-alunan nada dan melodi tentang ayat-ayat-Nya begitu syahdu untuk didengar. Begitu lembut untuk dihayati dan meresap dalam kalbu. Oh, betapa indah firman-Nya. Membuat hati merasa lebih damai dan kehidupan pun kembali berjalan. Setidaknya hari ini Bintang sudah lebih baik dari hari kemarin. Ada semangat yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Pagi ini ibu Bintang membaca al-quran dengan suara yang lembut dan merdu, terasa indah sekali. Bintang meneteskan air matanya, ia menangis bukan karena sedih, tetapi karena mendengar ayat suci al-quran yang dilantunkan ibunya.
“Ibu, aku bersyukur karena Allah telah memberikan seorang ibu yang luar biasa. Aku bersyukur karena setiap hari aku bisa mendengarkan ayat suci yang ibu lantunkan. Aku bahagia karena setiap hari ibu selalu menasihatiku untuk selalu mengingat-Nya dan berbuat baik.” Bintang memeluk erat tubuh ibunya.
“Wahai anakku, ibu juga bersyukur memiliki anak seperti Bintang. Bintang selalu membuat ibu bangga, dan selama ini ibu tidak pernah mendengarmu mengeluh. Ibu tahu apa yang kau rasakan, meski kamu tidak pernah cerita.” Lalu ibunya mencium kening Bintang dengan hangat dan penuh kelembutan.
Hari ini hari senin, seperti hari biasa Bintang harus bekerja. Pergi ke terminal untuk mengamen. Tapi sebelum berangkat ke terminal, Bintang mencari kayu bakar untuk memasak. Kasihan Ibu Bintang, sudah tua dan rentan dengan penyakit. Sedangkan ayah Bintang? Entahlah ke mana perginya, yang jelas sudah bertahun-tahun ayah meninggalkan Ibu dan Bintang.
“Bintang, maafkan Ibu seharusnya kini kamu sudah masuk sekolah, dan hari ini adalah hari pertama kamu masuk SMA” ujar sang Ibu
“Bintang bahagia melihat ibu bahagia, yang terpenting ibu selalu ada di samping Bintang. Ibu yang selalu membuat Bintang merasa tenang dan lebih bersyukur dalam menjalani hidup” jawab Bintang
Setelah mencari kayu bakar, Bintang bergegas menuju terminal. Langkah kakinya sangat cepat dan penuh semangat. Bintang selalu memberikan senyuman manis kepada semua orang yang ada di dekat Bintang.
“Pagi Bintang, waah sepertinya kamu selalu tampak ceria dan bahagia ya. Aku tak pernah melihat kamu bersedih apalagi menangis, walaupun kamu dibentak dengan preman dan orang-orang jahat seperti mereka tapi kamu tetap saja kuat dan tegar”
“Iya, Ibu juga tidak pernah mendengar Bintang mengeluh. Bintang selalu patuh dengan orang tuanya, ibadahnya juga sangat luar biasa”
“Iya, namanya juga Bintang. Pasti selalu menampakkan cahayanya dan selalu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya merasa bahagia”
Mereka adalah sahabat dan tetangga Bintang. Mereka seperti keluarga Bintang sendiri, selalu membuat Bintang optimis dalam menjalani hari-hari. Inilah hidup, walau pahit namun harus tetap berjalan. Hingga suatu ketika nanti Bintang akan meraih kemenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Hari ini langit begitu biru awan pun cerah. Terik matahari tak sejahat seperti biasanya. Jalan menuju terminal masih dua puluh menit lagi. Di sini biasanya Bintang mengamen atau bahkan meminta-minta karena keterpaksaan. Di ujung terminal sana sudah ada preman-preman yang mengawasi para pengamen dan peminta-minta yang ada di terminal. Mereka memang licik dan jahat, suka merampas duit orang seenaknya saja, bahkan sampai berbuat keras dan kasar. Tapi untungnya Bintang lolos dari terkaan preman dan orang-orang licik. Lalu ia pun melanjutkan tugasnya seperti biasanya.
“Misi mba dan mas, semoga lagu ini bisa menghibur ya” Bintang pun bernyanyi dengan suara merdunya
Semua tersenyum dan tertawa melihat Bintang menyanyi. Tubuhnya yang mungil, gigi kelincinya yang lucu dan wajahnya yang imut membuat semua yang ada di tempat itu menyaksikan penampilan Bintang. Semua bersorak-sorai gembira sambil bernyanyi bersama.
“Hai gadis kecil yang imut, siapa namamu?” Tanya seorang perempuan yang duduk di terminal
“Namaku Bintang” jawab Bintang
“Nama yang indah, semoga bisa seperti bintang yang sinarnya begitu indah dan membuat orang terpesona setiap kali melihat Bintang.” Ujar salah seorang perempuan yang sedang duduk di terminal.
Bintang, ya nama yang diberikan oleh ibunya. Ibu yang selalu membuat ia kuat dan tegar dalam menghadapi kehidupan yang pahit. Dunia yang kejam dan penuh dusta. Namun, ibu selalu membuat ia merasa bangga akan kata-katanya. Ibu yang selalu menasihatinya untuk tetap menampakkan sinarnya, walau sedang berduka. Itulah yang membuat ia terus bertahan menjalankan kehidupan yang selalu berputar dan berubah.
“Hari ini aku bersyukur dan bahagia, karena hari ini semua berjalan dengan baik. Aku mendapatkan hasil yang memuaskan setelah mengamen. Hari ini aku ingin membeli sesuatu untuk ibu, aku ingin membeli mukena. Aku ingin ibu mengenakan mukena baru, agar wajahnya terlihat lebih cerah dan lebih mempesona.” Bintang merasa sangat bahagia karena ia mampu membeli mukena untuk ibunya.
            Bintang tak dapat membayangkan jika ia sudah sampai di rumah pasti ibunya sedang merebahkan tubuhnya, ibunya pasti merasa lelah dan capek. Sudah dua tahun ibunya sakit keras, itulah yang membuat Bintang merelakan sekolahnya. Karena ia tahu, bahwa ada yang jauh lebih penting, yaitu ibu yang selama ini membesarkan dan merawatnya dengan baik. Hari ini Bintang membeli mukena karena ingin ibunya memakai mukena yang layak untuk dipakai saat shalat. Bintang nggak sabar untuk sampai di rumah, Bintang ingin memberikan kejutan untuk ibunya.
Tak terasa kini sudah berganti waktu. Senja pun menyapa, semburat rona kemerahan nampak di bagian ufuk barat. Burung-burung camar menari indah di atas langit, membentuk formasi penuh makna. Bernyanyi dengan riang dan tanpa beban. Hari ini, dan suasana hari ini seperti hati Bintang, sangat bahagia. Sepanjang jalan, Bintang menebarkan senyum manisnya. Berjalan dengan semangat dan tanpa beban. Namun, setelah sampai di rumah kebahagiaan yang baru Bintang rasakan hilang seketika.
Kebakaran, itulah musibah yang ditimpa Bintang. Tubuhnya tergulai lemah, napasnya tersengal, matanya memancarkan kesedihan dan luka yang mendalam. Namun yang ada di benak Bintang hanya satu, yaitu Ibu.
“Ibu di mana? Jangan tinggalin aku, bu.” Bintang tak kuasa menahan air matanya, hingga air matanya jatuh membasahi pipinya.
Tapi semua menahan Bintang, menarik tangan Bintang dan memeluk Bintang dengan erat dan penuh iba. Semua menatap Bintang dengan tatapan sendu dan penuh dengan belas kasihan.
“Apa yang kalian lakukan, mengapa menghalangiku? Di mana Ibu?.” Bintang teriak dengan suara lantang.
“Lihat! Lihatlah! Rumah yang selama ini aku tempati, rumah yang selama ini menyisakan sebuah masa yang indah tentang aku dan ibuku, kini hangus terbakar. Tanpa sisa! Namun bukan itu yang membuat aku sesak, bukan karena rumah itu, bukan karena isinya. Tapi karena Ibu! Bodoh kalian! Kenapa kalian tidak menolong Ibu? Mengapa kalian tidak menolong Ibu yang sedang tergulai lemah, mengapa? Mengapa kalian egois? Mengapa kalian membiarkan Ibu di dalam sana, mengapa?.” Bintang sangat kecewa karena ia tak dapat menolong ibunya, kekecewaan Bintang membuncah di langit-langit kehidupan.
“Mengapa semua berlalu dan terjadi dengan cepat? Kebahagiaan yang baru saja aku rasakan kini hilang begitu saja. Mengapa aku tak pernah merasa bahagia, wahai Rabbku? Selama ini aku berusaha untuk selalu bersyukur, meski terkadang aku merasa semua tidak adil. Selama ini aku berusaha untuk tetap tegar, walau kenyataannya aku merasa sangat tak berdaya. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikan kesedihanku kepada semua orang yang berada di sekelilingku. Mengapa Kau tak pernah membiarkan aku merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Mengapa ,mengapa Rabb?.” Bintang memejamkan mata dan mengigit bibirnya hingga terluka
Semua hilang tanpa jejak, semua hilang tanpa sisa. Sesak, marah, benci, semua rasa menjadi satu. Kini ibunya telah pergi, bukan hanya pergi untuk sementara tapi pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali ke dunia. Benar-benar menyakitkan dan menyesakkan. Semua pergi begitu saja.
Bintang terdiam dan termenung meratapi Ibunya. Wanita yang begitu lembut dan sabar. Ibu yang mampu mengubah segalanya menjadi indah. Kini tak ada lagi wajah yang mampu memberikan semangat, tak ada lagi belaian lembut dari tangannya, tak ada lagi tatapan sendu yang diperlihatkannya. Hatinya seperti tertancap panah yang sangat tajam. Hatinya seperti ditimpa batu beton. Hahaha, ia tertawa dalam kesedihan dan duka yang meliputinya.
Pagi ini Ibunya dimakamkan. Bintang tak mampu berkata-kata, bibirnya kaku. Ia menatap ibunya dengan tatapan penuh luka, ia menatap ibunya lamat-lamat, ia tak menyangka ibu yang selama ini sangat ia cintai pergi selamanya, ibu yang selama ini mampu menghapus lukanya pergi dengan begitu cepat.
Cuaca pagi ini sangat mendukung, mendung dan tak ada mentari pagi yang mampu menghangatkan. Tak ada kicauan burung yang merdu dan indah, semua terasa sunyi.
Bintang belum beranjak dari tempat pemakaman ibunya, ia masih menatap makam ibunya dengan tatapan yang hampa. Mengusap lembut nisan ibunya, dan menaburkan bunga di makam ibunya.
 “Mengapa ibu meninggalkan aku dalam kesendirian? Aku hidup dengan siapa? Aku harus ke mana? Seandainya ibu masih hidup, aku akan memberikan mukena ini untuk ibu. Tapi kini, ibu sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.” Bintang mendekap erat mukena yang ia beli untuk ibunya.
“Aku tak punya siapa-siapa lagi. Hancur! Sebelum hari ini aku memiliki harapan dan mimpi-mimpi baru yang ingin aku gapai, dan inginku tunjukkan pada ibu. Tapi kini? Semua hancur berkeping-keping, kepingannya berserakan entah ke mana. Oh, mungkin terbawa angin atau terbawa ombak.” Bintang merasa semua hilang tanpa menyisakan jejak, seperti mimpi di dalam tidurnya yang nyenyak.
Kini Bintang tak seperti dahulu. Ia tak mampu untuk tersenyum manis dengan wajah riang, kini ia benar-benar merasa sendiri. Tak ada lagi semangat untuk menjalankan hidupnya. Bintang yang selama ini mampu menyinari di setiap sudut-sudut yang gelap dan pekat, kini tak mampu untuk menyinari sudut yang gelap itu, kini ia tak mampu menampakkan sinarnya dengan terang benderang. Sinarnya semakin memudar dan tak bermakna.
Bintang berjalan dan terus menyusuri jalan selama tiga hari, tak ada arah dan tujuan jelas. Langkah kakinya terhenti sejenak. Sakit! Perutnya sakit! Bintang ingin makan, tapi tak memiliki uang. Bintang ingin beristirahat, tapi entah di mana ia harus beristirahat. Bintang terus berjalan, meski ia harus berjalan dengan tertatih-tatih. Lalu ia melihat surau yang berwarna hijau, Bintang menuju surau itu sebagai tempat peristirahatan. Di sini Bintang merasa sangat kesepian, ia merasa sendiri. Tak ada lagi teman untuk berbagi. Setelah beristirahat sejenak, Bintang shalat tahajud. Di sepertiga malam ini, Bintang menumpahkan segala isi hatinya, Bintang mencurahkan segala isi hatinya kepada Allah Yang Maha Agung. Hingga meneteslah air matanya.

“Allahu Rabb, inikah cara-Mu mengusap lembut hati dan perasaan hamba-Mu ini? Jika aku boleh memilih ,aku ingin Kau ambil nyawaku hari ini, aku hanya ingin bertemu dengan ibu. Aku ingin bersama ibu, apa Kau tak punya rasa belas kasihan kepadaku? Apakah ini adil untukku? Tidak! Ini semua tidak adil untukku. Semua yang aku rasakan selama ini sama sekali tidak ada letak keadilannya. Aku berusaha untuk melupakan ayahku yang selama ini meninggalkanku dan ibu. Aku berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi dunia yang kejam. Aku berusaha untuk melupakan semua mimpiku di sekolah. Apa aku terlalu kotor dan hina? Sehingga Kau timpakan semua beban yang begitu berat untuk aku pikul.” Bintang sesak, hingga ia berfikir Allah sangat tidak adil.
Setelah shalat dan mencurahkan segala isi hatinya, Bintang melanjutkan perjalanannya. Tak peduli jika ia harus berjalan di tengah-tengah malam dan kesunyian yang menghampiri. Lalu ia duduk di sembarang tempat, dengan memasang wajah penuh belas kasihan dan menengadahkan tangannya. Ia sangat lelah, sampai tak mampu untuk berjalan. Wajahnya pun pucat dan matanya memancarkan duka yang sangat mendalam. Malam ini terasa sangat dingin, angin berhembus dengan kecepatan tinggi.
“Entah sampai kapan semua ini berakhir. Oh, Ibuuuuuuuu. Aku sakit, aku lapar, aku mengigil kedinginan” Bintang merasa tak ada lagi yang mampu mendekapnya saat ia sakit, saat ia merasa kedinginan.
“Aku ingin bersama ibu, aku ingin di dekatmu. Tapi kapan? Jika suatu hari nanti aku pergi, memang itulah yang terbaik. Aku ingin menjemput kebahagiaan yang selama ini aku inginkan. Di sanalah, tempat yang paling indah dan abadi. Jika memang aku harus menenggelamkan sinarku, biarlah sinarku ini nampak di sana.” Bintang tak memiliki semangat untuk hidup, karena jika ia hidup takkan mampu mengembalikan semua yang sudah terjadi.
Kini Bintang semakin tak mampu menampakkan sinarnya dengan jelas. Wajah pucat, bibirnya kaku, kakinya pun tak sanggup untuk melangkah. Tubuhnya tergulai lemah, namun Bintang tetap menatap hamparan langit yang begitu luas nan indah. Ribuan bintang-bintang menampakkan sinarnya, terang sekali. Mampu menyinari sudut malam di kota yang gelap gulita. Semua formasi bintang malam ini sangatlah rapi, memiliki makna yang tersirat. Namun, ada satu bintang yang sangat redup. Bintang, bintang itu ialah Bintang yang sedang tergulai lemah. Bintang itu mulai redup. Bintang itu tenggelam membawa segala suka dan duka yang meliputinya.



_The End_

Tidak ada komentar: