“Menghitung hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”
Malam tadi kau ambil biolamu, tanganmu lihai memainkan dawai.
Suara-suara yang datang pada biolamu, pada jemari lihaimu memainkan
dawainya. Lembut. Aku terus menatap jemarimu, berganti dari satu senar
ke senar lainnya. Menatap lamat-lamat biola yang kau bunyikan. Sambil
aku menikmati alunan suara itu, dan kumenikmatinya. Kau tahu? Aku ingin
meneteskan air mata, sebab yang terekam dalam otakku adalah, “Menghitung
hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”
Itu yang selalu terekam dalam memoriku. Apakah ada detikku, waktuku?
Apakah ada masaku nanti? Waktu aku mampu menjadikan segala raga dan
pikiranku untuk memperbaiki sesuatu yang hampir rapuh. Apakah Dia
mengizinkan detikku untuk terus bersujud. Melangitkan doa dan harapan
hanya pada-Nya? Apakah ada masaku agar langkahku tetap menyusuri jalan
panjang, meski terjal. Dan aku pun tak tahu di mana aku harus menetap
pada tempat abadi. Apakah ada waktuku untuk meruangkan segala
nikmat-Nya, yang seringkali aku abaikan? Apakah ada tempoku untuk
menjadikan cinta-Nya lebih layak menjadi cinta sebenar-benarnya cinta?
Kau masih terus menggerakkan jemarimu. Mataku tertuju pada biolamu.
Pendengaran dan nuraniku berputar pada lagu itu. Aku tak pernah tahu di
mana hariku akan datang. Aku hanya takut, bahkan seperti ada yang
mencungkil rasa yang terbaca oleh hati. Masaku nanti, entah kapan dan
bagaimana. Aku hanya ingin, jika detikku datang aku mampu menebarkan
cinta. Jika tidak bisa menebarkan cinta, biarlah melenyapkan kebohongan,
kebisuan, dan kealpaan yang tercipta dari diriku.
Ruang Hampa,
Jakarta, 17 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar