Cerpen ini merupakan cerpen yang kuhadiahkan untuk seorang kakak yang bernama Eliza Fardina, perempuan shalihah, insya Allah muslimah yang taat pada Allah. Ana uhibbuki fillah, semoga kelak kudapatkan cinta yang baik menurut Allah.. aamiin
*****
Aku mengagumimu atau bahkan mencintaimu
dalam bingkai taatku. Tertegun dalam indahnya akhlakmu, pada manisnya lisanmu,
dan tertegun pada tenangnya pandanganmu. Aku mencintaimu dalam diamku, kupegang
erat dan kujaga. Aku tak pernah meminta rasa ini. Seperti daun yang jatuh
berguguran, tak pernah menginginkannya dan tak pernah mengharapkannya. Daun
yang jatuh selalu ikhlas dan sabar menerima pemberian dari Rabbnya. Daun yang
akan jatuh lalu terbawa angin hingga berada di suatu tempat yang berbeda dari
sebelumnya. Menerima dengan ikhlas atas takdir yang telah ditetapkan-Nya.
Aku
mencintaimu, maka biarkan aku tak mengusik khusyuknya ibadahmu. Izinkan aku tak
mengusik ketenangan hatimu. Tak mengapa bagiku tak bertegur sapa langsung
denganmu. Aku menyapamu dalam setiap doa-doa yang mengalir di antara sujud
panjangku. Cukuplah bagi diriku tersenyum lezat melihatmu karena iman pada
dirimu semakin bertambah. Biarkanlah aku terus menyebut namamu dalam setiap doa
dan sujud panjangku.
***
Aku
tak pernah meminta Allah menurunkan dan mengalirkan rasa ini di rongga rasaku.
Aku hanya pasrah menerimanya, namun aku harus tetap menjaganya dengan balutan
doa dan iman. Beberapa tahun lamanya aku memendam rasa cinta. Tapi aku pun tahu
tak seharusnya cintaku ini melebihi rasa cintaku pada-Nya. Pencarian cintaku
dan cintamu ternyata begitu kompleks. Saat itu kau mengirimkan proposal ke
beberapa akhwat, namun sayangnya akhwat yang tercatat dalam proposalmu
menolakmu.
Aku
hanya tersenyum dan terus memperbaiki diriku, maka aku menata hatiku lebih
lembut. Aku tak pernah memaksa dalam doaku. Jika memang kau jodoh terbaikku
maka biarkan Allah yang menjaga hatiku dan hatimu lalu cinta kita bersemi indah
di pelaminan. Jika ternyata kau bukan jodohku, maka aku pun tahu ada seseorang
yang lebih baik darimu.
Aku
tak pernah tahu, adakah balasan cinta darimu? Aku tahu ternyata kau banyak yang
mengagumi. Namun kau tetap menjaga hatimu, dan mencoba untuk semakin dekat
dengan Rabbmu hingga akhirnya pancaran imanmu terlihat dari wajahmu. Tenang
setiap melihat wajahmu, sejuk ketika mendengar lisanmu yang mulai berucap.
Nasihat-nasihatmu mampu menyejukkan dan mematikan marah yang mulai membeku.
***
“Ah,
itulah bedanya engkau, Zain. Kau dapati kebaikan pada diriku, lalu kau berdoa
agar aku segera dipertemukan dengan pasangan hidup terbaikku. Sedangkan aku,
mendapati kebaikan pada dirimu lalu aku berdoa, ya Allah aku minta yang itu.
Namun aku tak ingin mengurangi rasa cintaku pada Rabbku, maka jika ternyata
bukan engkau, aku harus menerimanya dengan ikhlas,” aku menggenggam lembut
tanganmu dan menatap langsung dua bola matamu dari jarak yang sangat dekat.
“Ah,
beruntungnya diriku mendapatkan bidadari cantik dan shalihah sepertimu. Bunga
cantik yang tetap menjaga kehormatan dengan balutan iman yang menjaga dirimu.
Aku tak pernah menyangka jodohku adalah dirimu.” Zaini mengusap lembut pipiku
dengan cinta.
“Kau
mencintaiku Mas? Sebesar apa cintamu padaku?” aku tahu ini pertanyaan bodoh,
tapi aku ingin mendengar langsung dari lisannya yang indah.
“Tentu
rasa cintaku padamu tak sebesar rasa cintaku pada Rabbku, Rasulullah dan orang
tuaku. Namun aku mencintaimu layaknya bunga yang sudah mulai layu, lalu hujan
turun tuk membasahi bunga hingga akhirnya sang bunga mekar kembali, cantik dan
memesona. Atau seperti telaga yang mampu menghapus dahaga pada dirimu, Za. Dan
seperti senja yang tak pernah jemu dan bosan menunggu malam.” Kau membuatku
semakin jatuh cinta padamu.
“Demi
Allah, bersyukur dan beruntungnya diriku mendapatkanmu, wahai kekasih hatiku.
Ajari aku tuk semakin dekat dan cinta dengan Rabbku. Tuntunlah aku agar semakin
tebal iman dan takwa pada diriku. Sungguh, aku mencintaimu karena Allah.”
“Pun
dengan aku Za, bidadari tercantikku. Aku mencintaimu karena Allah. Aku akan
berusaha membimbingmu agar kau tetap dicintai dan disayangi dengan Rabbmu.
Sungguh bersyukur diriku mendapatkan engkau. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustai?” kata-katamu tak pernah aku lupakan. Aku simpan baik-baik
dalam bingkai hatiku.
Cinta
bak telaga yang menghapus dahaga saat haus mulai menyergap. Cinta murni akan
selalu tertuju pada yang Maha mencintai. Cinta seperti senja yang menghiasi
sore, tak pernah jemu dan tak pernah lelah. Saat ijab kabul terucap dari
bibirmu, aku merasa berada di taman yang paling banyak itemani bunga-bunga
indah. Saat kau menggenggam erat dan lembut tanganku terasa bagai daun-daun
yang jatuh berguguran. Dosa yang dulu aku takuti kini berguguran. Cinta, dalam
heningnya aku tetap menjaga bingkai hatiku yang sudah tertata rapi dalam takwa.
Bahagia adalah ketika cintamu dipertemukan dalam ikatan suci, bukan sandiwara
yang terekam dalam pacaran.
-
Selesai -
Jakarta, 11 Februari 2015