Fajar menyapa dengan hati gembira, embun di pagi
hari menebarkan bau basahnya. Hembusan angin bersenandung lembut, meracik nada
dan melodi dengan indah, bercerita tentang dunia fatamorgana. Dedaunan melambai
indah dan gemulai, meyambut dengan hati bersih. Gemiricik air mengalir dengan
syahdu. Mentari pun segera menampakkan wajahnya dari peraduan. Menghangatkan
jiwa-jiwa yang berhati lembut, lebih lembut dari sutra. Sahutan burung
bernyanyi pun menjadi saksi bahwa mentari telah datang.
Hidupku
kini lebih berwarna, ya jauh lebih berwarna dari sebelumnya. Tak ada lagi rasa
resah dan gelisah yang merasuk di dalam hatiku. Ruang-ruang hatiku kini
dipenuhi dengan warna putih dan berbagai macam warna. Tak ada lagi warna hitam
dan pekat. Ya, syukur kuucapkan pada Allah yang Maha mencintai. Allah mampu
mengubah arahan di hidupku. Namun setiap kali aku mengingat peristiwa empat
tahun yang lalu dadaku terasa sesak, lebih sesak daripada tertimpa beton. Peristiwa
yang membuatku terpuruk dan terbujur kaku.
***
Ketika
aku kelas satu SMP ada sebuah peristiwa yang takkan pernah aku lupa sampai saat
ini. Ketika aku sedang mengikuti lomba cerdas cermat untuk mewakili sekolahku
orang tuaku menyempatkan diri untuk datang dan melihatku, ibu dan ayahku datang
jauh-jauh dari Riau. Mereka sedang ada tugas di sana, tapi hari itu juga mereka
datang untuk menyaksikan aku. Aku sudah menunggu sampai lomba selesai tapi
mereka belum juga datang, aku kecewa dan sedih. Sebelum perlombaan selesai aku
menghubungi ibu dan ayahku.
“Ayah
sama Ibu di mana? Kok belum datang juga, perlombaannya mau selesai. Aku masuk
final Yah, Bu.” Aku lebih bahagia jika kedua orang tuaku ada di sini melihat
dan menyaksikanku.
“Sayang sabar ya sebentar lagi kami sampai.
Kamu jangan terlalu memikirkan ibu dan ayah,
kamu fokus aja dengan lombanya ya. Doa kami senantiasa tercurahkan untukmu
Nak.” Ujar ibuku dengan suara lembutnya.
“Pokoknya
aku mau ayah dan ibu di sini, walau pun nanti perlombaannya udah selesai. Kalau
aku menang semuanya aku persembahkan untuk ayah dan ibu, aku sayang kalian.”
Jawabku, “Iya Nak, kami juga sayang sama Lazuardi.” Ibu membalas ungkapan
cinta. Hari ini tak pernah aku menyangka, ini adalah untuk terakhir kalinya
orang tuaku menyatakan rasa cintanya padaku, semua berjalan begitu cepat.
Selama
tiga jam lebih aku dan kakak-kakakku menunggu kedatangan orang tua kami, sedih,
khawatir dan harap-harap cemas. Semua berkumpul menjadi satu. Setelah itu ada
yang menelpon ke ponsel kakakku, Fahris.
“Selamat
siang benar ini dengan sauadara Fahris? Saya dari kepolisian ingin memberitahu
bahwa orang tua Anda kecelakaan di daerah Bogor.” Kak Fahris tiba-tiba
menjatuhkan ponselnya, air mata pun jatuh begitu saja.
“Kenapa
Kak Fahris? Itu dari siapa? Kenapa menangis?” Ujarku yang semakin penasaran,
“Kenapa Ris kok kamu nangis sih.” Tanya kak Diandra.
“Ibu
dan ayah kecelakaan di Bogor.” Jawab kak Fahris. Aku pun lemas, piala yang aku
pegang erat terjatuh. Air mataku pun membasahi wajahku, aku harap semua akan
baik-baik saja.
“Yaudah
sekarang kita ke sana, semoga ibu dan ayah baik-baik saja.” Kak Diandra
langsung membawa mobil dengan cepat.
“Kak
jangan ngebut dong, tenang aja. Yang penting kita bisa selamat dan bisa ketemu
ibu dan ayah. Kalau kakak ngebut Fahris takut ada kejadian yang nggak
diinginkan.” Kak Fahris mencoba untuk menenangkan kak Diandra agar tetap tenang
saat mengendarai mobil.
Kami
pun sampai di rumah sakit itu, sungguh aku merasa semakin sesak dan napasku
terengah-engah.
“Maaf
Suster, korban kecelakaan yang bernama bu Laras dan pak Kholis di mana ya?
Tolong antar kami.” Kak Fahris, aku dan kak Diandra mengikuti suster tersebut.
Sesampainya berita duka pun menghampiri kami.
“Dokter
bagaimana keadaan ayah dan ibu saya? Apa dia baik-baik saja.” Tanya kak Diandra.
“Kalian
keluarganya?” Tanya sang dokter, “Iya dok, gimana keadaan orang tua kami?”
Tanya kak Fahris, “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan
berkehendak lain.” Jawab dokter dengan wajah sedih.
“Jadi
maksudnya ibu dan ayahku meninggal dunia?” Tanyaku penasaran, “Ayah kamu
meninggal, tapi ibu kamu masih hidup walau keadaannya kritis.” Jawab dokter,
“Kami ingin meliht ibu kami, Dok.” Sahut kak Fahris, “Iya silahkan.”
“Ibu,
ibu nggak boleh ninggalin aku. Aku nggak mau ibu pergi. Huhuhu.” Air mataku
membasahi pipi ibuku. Tak lama kemudian ibuku sadar, aku tidak sanggup melihat
keadaan ibuku.
“Sstt,
kamu nggak boleh nangis Nak, jelek. Gimana lombanya?” Tanya ibuku.
“Aku
menang Bu, maaf aku nggak bisa jadi juara satu tapi juara kedua.” Jawabku
sambil menangis, “Nggak apa-apa Nak, yang penting kamu sudah berusaha.” Ibu
mengusap pipiku dengan lembut.
“Nak,
jika ibumu ini meninggal dunia jangan sesali semuanya. Tetap shalat dan
melaksanakan semua perintah Allah.” Ujar ibuku.
“Ibu
nggak boleh berbicara seperti itu. Ibu pasti akan sehat, aku percaya.” Jawab
kak Diandra, “Iya Bu, insyaAllah ibu
akan sembuh.” Sahut kak Fahris.
“Nak,
maut bisa datang kapan saja. Itu pesan ibu, tolong jaga adikmu, Lazuardi dengan
baik.
“Ibu
nggak boleh pergi, ayah udah ninggalin aku, ibu juga mau ninggalin aku? Aku
yakin ibu pasti bisa sembuh kok. Huhuhu.” Aku menangis sekencang-kencangnya.
“Dokter,
tolong lakukan yang terbaik untuk ibu saya, berapa pun biayanya.” Kak Diandra
memohon pada dokter dengan penuh harap.
“Anak-anakku
sayang, janganlah bersedih dan janganlah menangis. Tolong ikhlaskan ibumu ini,
Nak.” Ujar ibu, wajahnya sangat pucat. Lemas sekali.
“Ibu
mohon jangan pernah meninggalkan agamamu, Nak. Jangan pernah jauh dari Allah,
Nak. Ibu ingin istirahat,
“Ibuuuuu,
jangan pergi ibu. Huhuhu.” Aku pun menangis terisak-isak, menjerit seperti
kerasukan setan. Suasana pun menjadi tegang, dinding-diding pun seakan mengerti
apa yang sedang terjadi di dalam ruangan ini.
***
Di
saat kami masih merasakan kehilangan orang tua, kak Diandra menemukan seorang
perempuan, ya cintanya. Aku dan kak Fahris menyetujui hubungan mereka, karena
kami tahu ia sudah pantas untuk menikah. Setahun kami dtinggal pergi oleh orang
tua kami, kak Diandra menikah dengan kak Rensi. Tepat saat aku baru saja naik
ke kelas 2 SMP, kakak pertamaku benar-benar sudah hilang akal dan pikiran.
Setelah mereka menikah selama 1 tahun
aku dan kak Fahris merasa kak Diandra berubah, ia jarang sekali yang namanya
shalat, shalat jumat pun tidak mau. Sampai pertengkaran itu terjadi, antara kak
Diandra dan kak Fahris.
Saat
itu aku dan kak Fahris mengikuti kak Diandra dengan kak Rensi dari belakang,
aku dan kak Fahris pun kaget. Kami sama sekali tidak menyangka, aku semakin
sesak melihat kejadian itu, sungguh lebih sesak ketika ibu dan ayahku
meninggal.
Jelas
saja aku sesak, kak Diandra menyembah selain Allah. Ia menyembah pohon yang
sama sekali tidak masuk akal, dia juga sering pergi ke dukun sampai tetangga
kami ada yang menjadi tumbal, ia percaya ramalan dan segala macam. Dan semua
itu ajakan dari si perempuan itu, aku benci sekali dengan dia. Dia yang telah
merusak kakakku.
***
Aku
meronta sesak ketika kak Diandra dan kak Fahris bertengkar dahsyat, menyakiti
satu sama lain hingga memar dan berdarah, baru kali itu aku melihat mereka
bertengkar seperti itu. Sampai aku terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri,
aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Tapi yang jelas yang membuat aku
lebih sakit ialah ketika aku sadar, kak Fahris telah pergi. Entah pergi ke
mana, menyisakan kepingan-kepingan sesak dan luka yang begitu menyayat hati.
Aku marah dengan kak Diandra, tapi ia tak peduli.
Aku terus mendesak kak Diandra untuk
memberitahu di mana keberadaan kak Fahris, tapi ia justru berkata dan berbuat
kasar padaku.
“Ngapain
sih kamu nyariin si Fahris? Kamu tuh harusnya bersyukur bisa hidup mewah dengan
kakak! Kamu bisa beli apa aja sesuka hatimu. Haha” kak Diandra tertawa puas,
hatinya telah diwarnai dengan warna hitam dan pekat.
“Aku
nggak pernah mau ini semua, yang aku inginkan Kak Diandra kembali ke jalan yang
benar! Sadar! Jangan sampai Allah menutup mata hati Kak Diandra!” Aku membentak
kak Diandra.
“Heh,
kamu tau apa tentang Tuhan? Kalo emang ada Tuhan sampai sekarang kenapa Tuhanmu
nggak menolong kamu? Haha, dasar bodoh!” kak Diandra mendorongku, sampai
kepalaku terbentur keras.
Berbulan-bulan
bahkan hampir satu tahun lamanya aku mencari kak Fahris namun aku tak pernah
menemukannya. Sungguh aku semakin sesak, gumpalan luka dan duka bersatu padu. Aku
lebih sesak ketika aku di rumah melihat kak Diandra dan kak Rensi merokok,
minum alcohol sambil bermain kartu. Bahkan di saat tengah malam, aku tidak
sengaja pernah memergoki kak Diandra berbincang dengan makhluk yang sangat
mengerikan, berbadan besar dan hitam, matanya merah menyala. Aku pun langsung
ke kamar. Badanku menggigil, aku takut sekali.
***
Semenjak
kak Fahris menghilang bagai ditelan bumi, hidupku semakin tak terarah. Terlebih
lagi setiap hari aku harus menyaksikan sesuatu yang membuat dadaku terasa
sesak. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini, tapi hendak pergi ke mana? Aku
tak punya saudara di Jakarta. Sampai akhirnya aku pun tidak pernah yang namanya
shalat lagi, mengaji dan lain-lain.
“Tumben
kamu sekarang kayaknya udah nggak pernah shalat lagi ya? Kenapa? Tuhanmu nggak
bisa nolongin kamu ya? Haha. Kamu mau ikut aku nggak?” Kak Diandra tertawa,
lalu mengajukan pertanyaan padaku.
“Maksud
Kakak?” tanyaku bingung.
“Ya
ikut yang selama ini aku lakukan, seru loh. Hahaha.” Kak Diandra tertawa lagi,
lebih kencang.
“Sampai
kapan pun tidak akan pernah! Aku tidak akan menyembah apa pun! Jangan pernah
memaksa dan mendesakku, sekarang urusan kita berbeda. Aku tidak peduli Kak
Diandra mau berbuat apa, tapi aku juga berharap Kak Diandra tidak perlu ikut
campur dengan urusanku. Aku dan kamu berbeda, Kak!”
***
Sampai
pada akhirnya aku tidak percaya lagi dengan Tuhan, agamaku hanya sebagai
identitas saja. Sampai aku SMA pun aku tak pernah lagi shalat, mengaji, bahkan
berdoa. Hatiku sudah ternodai dengan coretan-coretan tinta hitam yang panas. Aku
tahu sahabat-sahabatku sering menasihatiku untuk shalat, ya aku lakukan itu pun
karena aku tidak enak dengan mereka. Jadi aku melakukannya bukan karena hatiku,
bukan karena ketulusanku.
Sesampai
di rumah aku mendengar teriakan histeris dari kamar kak Diandra. Seketika
membuat jantungku berdetak sangat kencang, bola mataku lincah sekali melihat ke
segala arah, termasuk melihat bingkai jendela kamar kakakku. Aku kira mimpi
tapi ini nyata, kak Rensi memegang pisau yang sangat tajam. Meletakkannya di
leher kak Diandra, seraya berkata “Haha, dasar laki-laki bodoh! Kau pikir
selama ini aku menikah denganmu karena aku cinta padamu?” kak Rensi memainkan
pisaunya.
“Maksud
kau apa, Rensi? Kamu jangan macem-macem!” kak Diandra gemetaran.
“Haha,
aku sengaja memisahkan kamu dengan adik-adikmu dan menyesatkanmu karena aku
ingin mengambil semua yang kau miliki. Rumah dan harta yang berlimpah, aku juga
yang membuatmu jauh dari Tuhanmu hingga sesat seperti ini. Untungnya kau
terperangkap dengan mudah, lemah sekali imanmu sayang. Hahaha.” Kak Rensi
menyodorkan pisaunya ke leher kak Diandra.
“Lepaskan
aku, aku bisa melaporkan kamu ke polisi!” kak Diandra mendorong kak Rensi,
melarikan diri. Tapi sayang pintunya sudah dikunci kak Rensi. Kak Rensi pun
dengan cepat menarik tangan kak Diandra.
“Haha,
kamu sudah terlambat. Semuanya sudah
terlambat!” kak Rensi langsung menancapkan pisau itu ke leher kak Diandra.
Tubuhku lemas, aku terburu-buru pergi dari rumah. Aku tak pernah menyangka
hidupku kini benar-benar sangat kelam, nelangsa.
“Tuhan,
katanya Engkau ada di mana-mana? Tapi kenapa Kau membiarkan hidupku seperti
ini, Kau mengambil semua orang-orang yang aku sayang. Mengapa pula Kau biarkan
kak Diandra mati tragis seperti itu, di mana kuasa-Mu, Tuhan? Aku benci
pada-Mu, sungguh Kau tidak adil. Di mana letak keadilan-Mu, Tuhan? Haha.” Aku
menangis terisak, menahan rasa sesak di dada. Menahan rasa kalut, menahan semua
luka dan duka tersimpan dengan rapi.
***
Malam
itu aku tidur di sebuah lorong. Lorong yang begitu gelap dan pekat. Aku tak
peduli di mana aku sekarang, yang penting aku bisa melupakan semua luka dan
duka yang datang begitu cepat. Atau kalau boleh aku ingin esok hari Tuhan kan
mencabut nyawaku. Ketika aku tertidur pulas di lorong gelap ini. Aku bermimpi. Badanku
menggigil, keringat dingin, mimpiki sangat seram. Membuat jantungku berdetak
lebih kencang, tubuhku lemas. Ingin rasanya aku membuka mataku namun aku tak
bisa, seolah ada lem yang sudah merekat mataku.
“Hai
anak muda? Mengapa kau pergi meninggalkan Tuhanmu? Sementara Tuhanmu sangat
menyayangimu.” Ada seorang laki-laki tinggi, ia berdiri membelakangiku.
Suaranya menggema.
“Bohong
kau! Kalau Tuhanku menyayangiku mengapa ia mengambil semua orang yang aku
cintai? Mengapa Tuhanku menimpakan semua luka dan duka begitu cepat?” Napasku
terengah-engah, air mataku terjatuh membasahi gumpalan tanah lorong itu.
“Wahai
engkau yang lembut hatinya, Tuhanmu itu Allah. Sungguh Allah telah merencanakan
dan mempersiapkan semuanya, dan Allah yang mampu menjadikan semuanya indah,
tanpa pernah kau duga. Tanpa pernah kau bayangkan.” Suara lembut itu menggema,
namun hanya ada suara tak ada raga.
“Si,
si, siapa kau? Di mana kau?” Aku bertanya penasaran.
“Wahai
engkau yang berhati lembut dan berjiwa manis, kau mau tahu tentang sesuatu hal?
Apa kau tidak rindu dengan ibu dan ayahmu, juga dengan kak Fahris?” Suara itu
lagi-lagi terdengar, membuatku gemetaran.
“Kau,
mengapa kau tahu mereka? Apa maksud semua ini?” tanyaku yang semakin bingung
dan penasaran.
“Wahai
engkau yang lembut hatinya, ibu dan ayahmu kini sedang bersedih. Melihat anak
kesayangan jauh dari Allah, perlu kau ketahui ibu dan ayahmu tengah berada di
tempat yang paling indah, tapi ia sedang bersedih hati melihat keadaanmu
seperti ini. Sadarlah hati, sadarlah wahai hati yang mudah terombang-ambing.
Sadarlah Rabbmu telah menunggumu, Rabbmu ingin kau memadu cinta pada-Nya. Sadarlah
wahai hati.” Suara itu membuatku merinding, apalagi dengan semua ceritanya.
“Kau,
siapa kau sebenarnya?” Aku bertanya lagi.
“Perlu
kau ketahui kak Fahris telah menyiapkan sesuatu untukmu, ia pergi
meninggalkanmu karena ia ingin merencanakan sesuatu yang mampu membuatmu
tersenyum manis, tanpa diketahui kak Diandra. Kakakmu kini berada di negri yang
senatiasa mengingatkannya pada Rabbmu, sungguh ia menjadi manusia yang jauh
lebih beriman dan bertakwa. Setiap hari dan malam ia senantiasa mendoakanmu,
bahkan air matanya pun membasahi sajadahnya. Esok hari ia kan menemuimu, maka
sambutlah ia dengan hati gembira dan rasa syukur. Sedangkan kak Diandra, ia
masih Allah tolong. Selepas kau meninggalkan rumahmu, kakakmu masih hidup, ada
tetanggamu yang baik hatinya segera membawa kakakmu ke rumah sakit. Sadarlah
wahai hati, Allah sangat menyayangimu.”
Dan
ketika suara itu pergi menjauh aku mendengar suara, ya suara yang tak asing di
telingaku.
“Astaghfirullah, Lazuardi mengapa kau
seperti ini? Maafkan aku telah meninggalkanmu bertahun-tahun. Bangun Dik,
bangun sayang. Kakak sudah mendengar semua tentangmu dan kak Diandra, maafkan
aku.” Air mata itu membasahi wajahku yang pucat dan dingin. Aku pun membuka
mataku pelan-pelan, menata hatiku kembali dan melupakan semua luka dan duka
yang sangat pilu.
“Kakak,
ini kak Fahris? Kakak ke mana aja Kak? Aku takut sekali, maafkan aku, sudah
lama sekali aku meninggalkan shalat, bahkan doa pun tak pernah.” Aku menangis
di pangkuan kak Fahris.
“Kau
tidak perlu meminta maaf dengan kakak, mintalah maaf dengan Allah. Allah Maha
penerima taubat. Kakak sudah tahu semuanya, bu Darsih tetangga kita sudah
menceritakan semuanya. Kita tata lagi hidup kita, kita lupakan semua yang sudah
terjadi. Kak Diandra pun sudah menyadari semuanya, maafkan kakak selama ini
sudah meninggalknamu.” Kak Fahris memelukku erat, sungguh aku merasa tenang
berada di dekat kak Fahris. Ia jauh lebih tampan, dan wajahnya seperti
bersinar, karena cahaya-Nya.
***
Sungguh sembilu pilu menghentakkan
langkahnya dengan senada, mata hatiku terbelalak menyala bagai api yang sedang
memanas. Jemariku tak kuasa melepas semua luka dan duka yang melekat erat. Tak
lama kemudian sang fajar menyapa, menyambutku penuh cinta, bersama mentari pagi
yang menghangatkan dengan kicauan burung. Fajar pun tergilincir, senja segera
menyapa, menyemburatkan warna jingga di setiap sudut kehidupan. Senja pun
kembali ke tempat peristirahatannya, sang malam tiba dengan segala keelokannya.
Membawaku pergi ke langit malam, bintang berbaris rapi membentuk formasi penuh
makna, menerangi jalanku yang semula redup. Rembulan seakan tak ingin
tertinggal, ia memberikan sebongkah senyuman terindahnya. Aku disapa dan diajak
pergi dengan sang malam, memutari langit, hingga aku temukan lorong. Semula aku
urungkan niatku untuk ke sana, lorong yang gelap dan pekat. Namun sang malam
senantiasa menuntunku, menutup mataku dan meyakinkan hatiku. Sesampaiku di
lorong itu, aku membuka mataku perlahan. Aku memandang penuh takjub, kukira
lorong ini gelap dan pekat. Dari jauh memang terlihat sangat pekat, tapi ketika
aku mendekatinya dan membuka mataku, secercah cahaya langsung menyergapku.
Silau. Ribuan kupu-kupu mengepakkan sayapnya dengan indah, ribuan kunang-kunang
menghamburkan sinarnya. Ribuan bunga bermekar indah, berwarna-warni, air terjun
yang mengalir indah. Inilah lorong cinta-Mu yang sesungguhnya.