Minggu, 27 September 2015

Makna Hubungan Angin dan Daun

“Apa yang kaurekam dari suara angin, dari daun-daun yang rapi mengetuk jendela, kehabisan kata untuk melepaskan dirinya terbawa angin. Apa yang kau tangkap dari daun yang berjatuhan, hingga menutupi jalan setapak?”

“Apa yang kau rasa ketika malam mulai menyala dan angin mulai rusuh, lalu daun-daun menjatuhkan tubuhnya dan menggesek tubuhnya di jalan itu? Seperti ada kerinduan pahit yang dialami angin dan daun, tak bisa saling mengatakan. Hanya membuat dirinya tersiksa satu sama lain.”
Ada yang menafsirkan tentang hubungan gaib antara angin dan daun, menafsirkan rahasia daun yang mengetuk di balik jendela; berkali-kali tapi malu-malu. Kadang ia mengintip di balik jendela, lalu meniupkan suara ketukan yang membuat si puspa ingin membuka tirainya. Ada yang aneh, ketika puspa mengintip di balik tirai. Ada lelaki yang duduk termangu bertopang dagu. Ketika puspa membuka pintu, lelaki itu pergi bersama angin yang kembara. Lelaki itu seperti ada ikatan kuat dengan angin dan dedaunan; menyatu. Ketika lelaki itu datang, maka angin pun segera riuh dan daun-daun saling berbincang. Puspa masih saja terdiam dan berdiri di saat angin menari begitu mahir. Puspa masih bertanya-tanya, “siapakah gerangan yang beberapa hari ini mengetuk jendelaku, menunggu di depan pintu.”

Tak ada jawaban, yang ada hanya suara angin yang membuat dedaunan runtuh. Tidak ada rupa yang tampak, hanya ada bayang-bayang lelaki yang selama ini puspa tunggu. Memimpikan ketukan dari lelaki dingin tapi berhati sutra. Memimpikan sapaan di antara angin yang saling berbisik, yang membersit dari angin hingga daun-daun menggelincir di balik pintu: mengintip dua insan yang saling merindu di balik jendela. Oh, atau barangkali membayangkan semacam diksi yang akan mengantarkan lelaki itu di pembaringannya.
Puspa masih bertanya-tanya dalam benak, “mungkinkah lelaki itu, engkau wahai yang masih tetap kutunggu? Apakah lelaki itu kau, yang sudah masuk terlalu dalam di jiwaku?” Malam semakin terkuak dan angin semakin liar. Tetiba seorang lelaki menepuk lembut pundak puspa, namun lelaki itu justru berkata, “jangan kau menengok ke belakang. Aku tak ingin kau melihat wajahku yang tertutup daun karena angin yang membawanya. Bersama ini kubawakan sehelai daun, bacalah dan sampai jumpa.” Belum sempat puspa menengok ke belakang, lelaki itu langsung terbawa angin. Puspa membaca kata-kata yang tersusun rapi pada sehelai daun itu: aku adalah yang kau doakan, yang kau impikan, yang kau tunggu selama ini. Maaf bungaku, jika selama ini aku hanya mampu menyampaikan rindu melalui angin yang gaduh dan daun yang saling berbisik. Maaf bungaku, jika aku ingin berbicara padamu hanya bisa mengetuk jendelamu. Tunggu aku, besok akan kutemui lagi dirimu, bersama impian yang akan terajut indah.

Barangkali perempuannya sudah terlalu lama merekam bait-bait kata yang tersusun rapi, dan menghafalnya. Bahwa lelaki itu ialah lelaki yang dinantikannya sejak beberapa tahun lamanya. Oh, barangkali kini lelakinya lupa akan bait-bait yang pernah dituliskannya atau mungkin terbawa angin liar yang membuatnya tak kembali lagi.



Jakarta, 2015

Tidak ada komentar: