“Apa yang kaurekam dari suara angin, dari daun-daun yang rapi mengetuk
jendela, kehabisan kata untuk melepaskan dirinya terbawa angin. Apa yang
kau tangkap dari daun yang berjatuhan, hingga menutupi jalan setapak?”
“Apa yang kau rasa ketika malam mulai menyala dan angin mulai rusuh,
lalu daun-daun menjatuhkan tubuhnya dan menggesek tubuhnya di jalan itu?
Seperti ada kerinduan pahit yang dialami angin dan daun, tak bisa
saling mengatakan. Hanya membuat dirinya tersiksa satu sama lain.”
Ada yang menafsirkan tentang hubungan gaib antara angin dan daun,
menafsirkan rahasia daun yang mengetuk di balik jendela; berkali-kali
tapi malu-malu. Kadang ia mengintip di balik jendela, lalu meniupkan
suara ketukan yang membuat si puspa ingin membuka tirainya. Ada yang
aneh, ketika puspa mengintip di balik tirai. Ada lelaki yang duduk
termangu bertopang dagu. Ketika puspa membuka pintu, lelaki itu pergi
bersama angin yang kembara. Lelaki itu seperti ada ikatan kuat dengan
angin dan dedaunan; menyatu. Ketika lelaki itu datang, maka angin pun
segera riuh dan daun-daun saling berbincang. Puspa masih saja terdiam
dan berdiri di saat angin menari begitu mahir. Puspa masih
bertanya-tanya, “siapakah gerangan yang beberapa hari ini mengetuk
jendelaku, menunggu di depan pintu.”
Tak ada jawaban, yang
ada hanya suara angin yang membuat dedaunan runtuh. Tidak ada rupa yang
tampak, hanya ada bayang-bayang lelaki yang selama ini puspa tunggu.
Memimpikan ketukan dari lelaki dingin tapi berhati sutra. Memimpikan
sapaan di antara angin yang saling berbisik, yang membersit dari angin
hingga daun-daun menggelincir di balik pintu: mengintip dua insan yang
saling merindu di balik jendela. Oh, atau barangkali membayangkan
semacam diksi yang akan mengantarkan lelaki itu di pembaringannya.
Puspa
masih bertanya-tanya dalam benak, “mungkinkah lelaki itu, engkau wahai
yang masih tetap kutunggu? Apakah lelaki itu kau, yang sudah masuk
terlalu dalam di jiwaku?” Malam semakin terkuak dan angin semakin liar.
Tetiba seorang lelaki menepuk lembut pundak puspa, namun lelaki itu
justru berkata, “jangan kau menengok ke belakang. Aku tak ingin kau
melihat wajahku yang tertutup daun karena angin yang membawanya. Bersama
ini kubawakan sehelai daun, bacalah dan sampai jumpa.” Belum sempat
puspa menengok ke belakang, lelaki itu langsung terbawa angin. Puspa
membaca kata-kata yang tersusun rapi pada sehelai daun itu: aku adalah
yang kau doakan, yang kau impikan, yang kau tunggu selama ini. Maaf
bungaku, jika selama ini aku hanya mampu menyampaikan rindu melalui
angin yang gaduh dan daun yang saling berbisik. Maaf bungaku, jika aku
ingin berbicara padamu hanya bisa mengetuk jendelamu. Tunggu aku, besok
akan kutemui lagi dirimu, bersama impian yang akan terajut indah.
Barangkali perempuannya sudah terlalu lama merekam bait-bait kata yang
tersusun rapi, dan menghafalnya. Bahwa lelaki itu ialah lelaki yang
dinantikannya sejak beberapa tahun lamanya. Oh, barangkali kini
lelakinya lupa akan bait-bait yang pernah dituliskannya atau mungkin
terbawa angin liar yang membuatnya tak kembali lagi.
Jakarta, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar