Dialog
di bawah merupakan dialog yang berlatar di kantin sekolah, siang hari. Suasana
yang tergambar ialah menegangkan dan mencekam karena adanya konflik karena
suatu masalah kecil. Ada beberapa pendengar dan partisipan dalam dialog di
bawah, karena ada beberapa tokoh. Dialog di bawah menggunakan bahasa lisan dan
tidak resmi. Percakapan di bawah merupakan bentuk ujaran dalam suatu kegiatan
acara. Amanatnya ialah jangan berprasangka buruk dulu dengan sesuatu yang belum
kita ketahui sepenuhnya, jangan terlalu kebawa perasaan, dan selalu memaafkan
kesalahan orang lain. Nada yang terlihat dari percakapan di bawah ialah serius
dan terkesan marah, karena banyak yang menjelaskan beberapa partisipan dalam
dialog berteriak, dan membentak. Norma yang berlaku dalam percapakan tidaklah
terlalu baik, karena ketika bertanya dan berbicara ada kesan yang kurang baik
antara pembicara dan lawan bicara. Jenis atau bentuk penyampaiannya ialah
berupa dialog.
Suasana semakin tegang ketika
seorang laki-laki bernama Aray membanting pintu kantin dan menendang
kursi-kursi yang berada di kantin. Suara teriakan dari suara laki-laki dan
perempuan pun saling bersahutan.
Chandra : Cukup kak! Bisa kan nggak usah teriak-teriak
dan menendang kursi? Kita
bisa
bicarakan semua ini dengan baik-baik, tanpa adanya teriakan dan
bentakan yang kak Aray dan ka Rahmat lakukan.
Rahmat : Apa sih Chan? Kamu tuh nggak ngerti
apa-apa. Mana teman kalian? Ketua
acara hari ini? (membentak dan
menendang kursi sampai terjatuh)
Aray : Woi! Mana teman kalian ini,
nggak bertanggung jawab banget dengan acara
hari ini.
Mana pengisinya? Materi apa yang mau disampaikan? (membanting
botol yang masih berisi air hingga pecah)
Andin : Sabar dulu kenapa Kak! Ini juga saya dan teman-teman
lagi menghubungi si
Tri. Nggak usah bentak dan nendang-nendang nggak bisa apa ya? (Andin pun
ikut teriak
karena emosi)
Ririn
: Nomornya Tri nggak aktif.
Tadi aktif tapi nggak diangkat-angkat!
Tiba-tiba dua orang laki-laki dan
dua orang perempuan pun datang, menuju kantin dengan langkah yang cepat dan
dengan wajahnya yang seperti Nampak ingin marah. Mufti dan Gilang membela
panitia pada acara Rohis hari ini.
Mufti : Cukup Kak! Nggak usah ngebentak
bahkan merusak fasilitas yang ada di sini
(langsung
mendekati Aray dan mencoba menentang Aray)
Aray : Eh dasar bocah! Ente nggak tau
apa-apa mending diem ajah dah!
Rahmat : Eh Muf, kalau nggak tau diem ajah
deh! (mendorong Mufti yang hampir
terjatuh)
Gilang : Cukup kak! Keterlaluan! Kita bisa
kan mengatasi masalah ini dengan baik-
baik tanpa emosi?
Adli : Kak udah kak udah. Saya nggak
mau lihat kakak-kakak saya bertengkar.
Semua
masalah bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kalau kayak gini caranya
nggak akan selesai masalahnya.
Rahmat : Terus Adli punya masukkan apa? Saya
Cuma mau ketua acara hari ini ke
sini! Mana?
Mana orangnya, hah?
Mufti : Eh nyantai ajah dong kak!
Aray : Nih ya lihat, saya injek nih
bendera Rohis ini. Saya benar-benar kecewa
dengan kalian, terutama ketua acara kalian!
Chandra : Cukup kak! Keterlaluan, jangan
jadikan masalah kecil hingga menjadi
masalah
besar! (Chandra mencoba mengambil bendera yang diinja-injak
Aray)
Rohman : Kak udah kak, udah! (hampir
menangis)
Bibah dan Ayu pun membentak panitia
yang perempuan.
Ayu : Kalian diam saja bendera
Rohis diinjak-injak, teman kalian dibentak? Mana
pembelaannya? Ini yang namanya ukhuwah? Persaudaraan? Mana?
Andin : Jadi ini yang namanya alumni?
Mentang-mentang alumni terus punya
kekuasaan lebih dan bisa marah-marah seenaknya saja? Hah?
Riri : (mencoba mengambil bendera
Rohis) Kak emang nggak bisa ya kalau nggak
pake marah-marah?
Rahmat : Apa sih Rin? Mana panggil dulu
ketua acaranya.
Bibah : Udah cukup segini doang? Kalian
yang masih diam dan Cuma duduk
selamanya akan seperti ini? Diam ketika teman kalian dibentak dan
mencoba
mempertahankan
apa yang memang harus dipertahankan.
Nur : Saya nggak ngerti ya sama
jalan pikiran kakak-kakak. Cuma masalah kecil
terus dibesar-besarkan? Jadi mentang-mentang alumni bisa seenaknya saja
memarahi adik kelasnya?
Indri : Jujur, saya benar-benar kecewa
dengan kakak-kakak di sini! KECEWA!
Riri : Udahlah! Kita mau sampai
kapan seperti ini terus?
Tiba-tiba azan Zuhur berkumandang.
Namun Aray dan Rahmat tetap berteriak dan menendang meja.
Nur : Udah kak, nggak usah
teriak-teriak! Apa kalian nggak punya telinga? Azan!
Cukuplah!
Filzah : (membanting pintu) Udah azan, nggak
pantes lagi azan teriak-teriak!
Nur : (ikut membanting pintu)
Rahmat : Dengar baik-baik ya, setelah selesai shalat semua
panitia wajib kembali ke
kantin lagi!
Ketika
shalat zuhur semua panitia perempuannya menangis, kesal, benci, semua campur
aduk. Setelah selesai shalat semua kembali ke kantin.
Aray
: Sampai jam segini Tri
belum juga datang? Keterlaluan!
Gilang : Sabar sedikit dong kak! Mungkin
ada alasannya kenapa dia pergi gitu aja.
Aaray : Saya nggak butuh jawaban dari
Anda!
Mufti
: Biasa ajah kali kak!
Adli : Kak udah dong, kita kan bisa
menyelesaikan semuanya dengan baik-baik.
Saya minta maaf kalau saya dan teman-teman salah kak. (Adli hampir saja
menangis, matanya sudah merah)
Rahmat : Eh Dli, ngapain minta maaf?
(tertawa dan langsung berpaling)
Setelah pertengkaran tiba-tiba Tri
datang. Semua mata memandangnya. Yang perempuan semakin menjadi-jadi
tangisannya, yang laki-laki semakin panas. Adli pun membela teman-temannya,
sampai ia menangis.
Tri : Maaf saya tadi ada urusan,
maka dari itu saya pulang sebentar
Aray : Hahaha, enak banget ya. Teman
kamu dari tadi nungguin kamu doang Tri, nggak
lihat tuh pada nangis.
Tri : Iya, maaf ya teman-teman.
Rahmat
dan Gilang : (tertawa) Selamat kalian kena jebakan betmen!
Aray : Haha, selamat kalian telah
lolos! Semua ini hanyalah sandiwara.
Adli : Jadi semua ini Cuma
sandiwara? Semua ini udah diskenario kan?
Rahmat : Iya Adli. Ini namanya manajemen
konflik. Hahahaha (tertawa puas)
Andin : Hah, saya kira semua ini
beneran! Parah ah!
Nur : Ya Allah kak. Saya pikir!
Ah, kalau ini bukan sandiwara saya beneran mau
keluar dari Rohis.
Semua pun tenggelam dan larut dalam
perasaannya masing-masing. Semua minta maaf dan saling memaafkan. Panitia
perempuan tetap menangis karena masih terasa sekali bentakannya. Adli dan Tri
pun meneteskan air matanya, ketika Adli membaca doa. Doa agar persaudaraan,
ukhuwah Islamiyah semakin erat. Semua tenggelam dalam tangisan karena ternyata
doa yang dibacakan Adli sangat menyentuh dan membuat kita semakin erat rasa
persaudaraannya.
Teks Deskriptif
Rintihan Kota
Hiruk
pikuk, jeritan dan tangisan terdengar jelas di gendang telinga; menggema. Di
sebuah kota, gedung-gedung bertingkat, mewah, dan mobil berbaris rapi. Namun di
pinggiran kota pemukiman kumuh berjejer rapi. Anak-anak menangis, merintih
kelaparan. Matanya tajam setajam mata harimau yang menerkam musuhnya. Kota ini,
oh kota ini semakin meredup dan gelap. Ketika para penguasa mencuri uang
rakyat. Mereka bagaikan tikus-tikus kotor yang melahap makanan yang berada di
selokan. Lahap sekali mereka menelannya. Ibu menangis kehilangan anak, bapak
menangis kehilangan pekerjaan, anak menangis kelaparan. Sementara di kota ini,
keadilan semakin terkuras. Keadilan semakin hilang ditelan ombak, dibawa angin,
ditelan raksasa berdasi dan berpangkat. Suara-suara pilu berserakan di antara
puing-puing kebohongan yang menyeret pada ruang kemunafikkan. Bau pengkhianatan
telah merasuk dalam hidung, baunya begitu menyengat dan sesak, lebih bau dari
belerang. Pohon-pohon kezaliman telah tumbuh di berbagai sudut. Kota ini semakin redup, dan semakin redup.
Kota pun menangis, dan menjerit dipegang penguasa bertangan kasar dan tajam,
lebih dari kaktus. Lisannya tajam, lebih tajam dari pedang yang diasah dan
dipanaskan berkali-kali. Kota merintih dalam dinding yang membisu.
Teks di atas mengisahkan tentang sebuh kota yang
selalu terdengar rintihan dan jeritan dari masyarakat yang tidak berdaya
melihat pemerintah, para penguasa bangsa. Partisipasi teks di atas ialah antara
para penguasa dan rakyat jelata. Pesan yang disampaikan dalam teks tersebut
ialah ketika semua kebohongan, ketidakadilan telah merajalela. Si miskin makin
miskin, makin tersiksa. Si kaya makin kaya, makin Berjaya. Nada yang
disampaikan ialah menyala-nyala. Menggunakan bahasa tulis dan tidak resmi. Termasuk
dalam jenis narasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar