Minggu, 27 September 2015

Analisis SPEAKING (Wacana Bahasa Indonesia)



Dialog di bawah merupakan dialog yang berlatar di kantin sekolah, siang hari. Suasana yang tergambar ialah menegangkan dan mencekam karena adanya konflik karena suatu masalah kecil. Ada beberapa pendengar dan partisipan dalam dialog di bawah, karena ada beberapa tokoh. Dialog di bawah menggunakan bahasa lisan dan tidak resmi. Percakapan di bawah merupakan bentuk ujaran dalam suatu kegiatan acara. Amanatnya ialah jangan berprasangka buruk dulu dengan sesuatu yang belum kita ketahui sepenuhnya, jangan terlalu kebawa perasaan, dan selalu memaafkan kesalahan orang lain. Nada yang terlihat dari percakapan di bawah ialah serius dan terkesan marah, karena banyak yang menjelaskan beberapa partisipan dalam dialog berteriak, dan membentak. Norma yang berlaku dalam percapakan tidaklah terlalu baik, karena ketika bertanya dan berbicara ada kesan yang kurang baik antara pembicara dan lawan bicara. Jenis atau bentuk penyampaiannya ialah berupa dialog.

Suasana semakin tegang ketika seorang laki-laki bernama Aray membanting pintu kantin dan menendang kursi-kursi yang berada di kantin. Suara teriakan dari suara laki-laki dan perempuan pun saling bersahutan.
Chandra          : Cukup kak! Bisa kan nggak usah teriak-teriak dan menendang kursi? Kita
              bisa bicarakan semua ini dengan baik-baik, tanpa adanya teriakan dan
  bentakan yang kak Aray dan ka Rahmat lakukan.
Rahmat           : Apa sih Chan? Kamu tuh nggak ngerti apa-apa. Mana teman kalian? Ketua
  acara  hari ini? (membentak dan menendang kursi sampai terjatuh)
Aray                : Woi! Mana teman kalian ini, nggak bertanggung jawab banget dengan acara
  hari ini. Mana pengisinya? Materi apa yang mau disampaikan? (membanting
  botol     yang masih berisi air hingga pecah)
Andin              : Sabar dulu kenapa Kak! Ini juga saya dan teman-teman lagi menghubungi si
  Tri. Nggak usah bentak dan nendang-nendang nggak bisa apa ya? (Andin pun
   ikut teriak karena emosi)
Ririn                : Nomornya Tri nggak aktif. Tadi aktif tapi nggak diangkat-angkat!

Tiba-tiba dua orang laki-laki dan dua orang perempuan pun datang, menuju kantin dengan langkah yang cepat dan dengan wajahnya yang seperti Nampak ingin marah. Mufti dan Gilang membela panitia pada acara Rohis hari ini.
Mufti               : Cukup Kak! Nggak usah ngebentak bahkan merusak fasilitas yang ada di sini
  (langsung mendekati Aray dan mencoba menentang Aray)
Aray                : Eh dasar bocah! Ente nggak tau apa-apa mending diem ajah dah!
Rahmat           : Eh Muf, kalau nggak tau diem ajah deh! (mendorong Mufti yang hampir
  terjatuh)
Gilang             : Cukup kak! Keterlaluan! Kita bisa kan mengatasi masalah ini dengan baik-
  baik tanpa emosi?
Adli                 : Kak udah kak udah. Saya nggak mau lihat kakak-kakak saya bertengkar.
  Semua masalah bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kalau kayak gini caranya
  nggak akan  selesai masalahnya.
Rahmat           : Terus Adli punya masukkan apa? Saya Cuma mau ketua acara hari ini ke
  sini! Mana? Mana orangnya, hah?
Mufti               : Eh nyantai ajah dong kak!
Aray                : Nih ya lihat, saya injek nih bendera Rohis ini. Saya benar-benar kecewa
  dengan kalian, terutama ketua acara kalian!
Chandra          : Cukup kak! Keterlaluan, jangan jadikan masalah kecil hingga menjadi
              masalah besar! (Chandra mencoba mengambil bendera yang diinja-injak
  Aray)
Rohman          : Kak udah kak, udah! (hampir menangis)

Bibah dan Ayu pun membentak panitia yang perempuan.
Ayu                 : Kalian diam saja bendera Rohis diinjak-injak, teman kalian dibentak? Mana
               pembelaannya? Ini yang namanya ukhuwah? Persaudaraan? Mana?
Andin              : Jadi ini yang namanya alumni? Mentang-mentang alumni terus punya
  kekuasaan lebih dan bisa marah-marah seenaknya saja? Hah?
Riri                  : (mencoba mengambil bendera Rohis) Kak emang nggak bisa ya kalau nggak
  pake marah-marah?
Rahmat           : Apa sih Rin? Mana panggil dulu ketua acaranya.
Bibah              : Udah cukup segini doang? Kalian yang masih diam dan Cuma duduk
  selamanya akan seperti ini? Diam ketika teman kalian dibentak dan mencoba   
  mempertahankan apa yang memang harus dipertahankan.
Nur                  : Saya nggak ngerti ya sama jalan pikiran kakak-kakak. Cuma masalah kecil
  terus dibesar-besarkan? Jadi mentang-mentang alumni bisa seenaknya saja
  memarahi adik kelasnya?
Indri                : Jujur, saya benar-benar kecewa dengan kakak-kakak di sini! KECEWA!
Riri                  : Udahlah! Kita mau sampai kapan seperti ini terus?
Tiba-tiba azan Zuhur berkumandang. Namun Aray dan Rahmat tetap berteriak dan menendang meja.
Nur                  : Udah kak, nggak usah teriak-teriak! Apa kalian nggak punya telinga? Azan!
  Cukuplah!
Filzah              : (membanting pintu) Udah azan, nggak pantes lagi azan teriak-teriak!
Nur                  : (ikut membanting pintu)
Rahmat           : Dengar baik-baik ya, setelah selesai shalat semua panitia wajib kembali ke
  kantin lagi!
 Ketika shalat zuhur semua panitia perempuannya menangis, kesal, benci, semua campur aduk. Setelah selesai shalat semua kembali ke kantin.
Aray                : Sampai jam segini Tri belum juga datang? Keterlaluan!
Gilang             : Sabar sedikit dong kak! Mungkin ada alasannya kenapa dia pergi gitu aja.
Aaray              : Saya nggak butuh jawaban dari Anda!
Mufti               : Biasa ajah kali kak!
Adli                 : Kak udah dong, kita kan bisa menyelesaikan semuanya dengan baik-baik.
  Saya minta maaf kalau saya dan teman-teman salah kak. (Adli hampir saja
  menangis,  matanya sudah merah)
Rahmat           : Eh Dli, ngapain minta maaf? (tertawa dan langsung berpaling)
Setelah pertengkaran tiba-tiba Tri datang. Semua mata memandangnya. Yang perempuan semakin menjadi-jadi tangisannya, yang laki-laki semakin panas. Adli pun membela teman-temannya, sampai ia menangis.
Tri                   : Maaf saya tadi ada urusan, maka dari itu saya pulang sebentar
Aray                : Hahaha, enak banget ya. Teman kamu dari tadi nungguin kamu doang Tri, nggak
  lihat tuh pada nangis.
Tri                   : Iya, maaf ya teman-teman.
Rahmat dan Gilang : (tertawa) Selamat kalian kena jebakan betmen!
Aray                : Haha, selamat kalian telah lolos! Semua ini hanyalah sandiwara.
Adli                 : Jadi semua ini Cuma sandiwara? Semua ini udah diskenario kan?
Rahmat           : Iya Adli. Ini namanya manajemen konflik. Hahahaha (tertawa puas)
Andin              : Hah, saya kira semua ini beneran! Parah ah!
Nur                  : Ya Allah kak. Saya pikir! Ah, kalau ini bukan sandiwara saya beneran mau
  keluar dari Rohis.
Semua pun tenggelam dan larut dalam perasaannya masing-masing. Semua minta maaf dan saling memaafkan. Panitia perempuan tetap menangis karena masih terasa sekali bentakannya. Adli dan Tri pun meneteskan air matanya, ketika Adli membaca doa. Doa agar persaudaraan, ukhuwah Islamiyah semakin erat. Semua tenggelam dalam tangisan karena ternyata doa yang dibacakan Adli sangat menyentuh dan membuat kita semakin erat rasa persaudaraannya.


Teks Deskriptif
Rintihan Kota

            Hiruk pikuk, jeritan dan tangisan terdengar jelas di gendang telinga; menggema. Di sebuah kota, gedung-gedung bertingkat, mewah, dan mobil berbaris rapi. Namun di pinggiran kota pemukiman kumuh berjejer rapi. Anak-anak menangis, merintih kelaparan. Matanya tajam setajam mata harimau yang menerkam musuhnya. Kota ini, oh kota ini semakin meredup dan gelap. Ketika para penguasa mencuri uang rakyat. Mereka bagaikan tikus-tikus kotor yang melahap makanan yang berada di selokan. Lahap sekali mereka menelannya. Ibu menangis kehilangan anak, bapak menangis kehilangan pekerjaan, anak menangis kelaparan. Sementara di kota ini, keadilan semakin terkuras. Keadilan semakin hilang ditelan ombak, dibawa angin, ditelan raksasa berdasi dan berpangkat. Suara-suara pilu berserakan di antara puing-puing kebohongan yang menyeret pada ruang kemunafikkan. Bau pengkhianatan telah merasuk dalam hidung, baunya begitu menyengat dan sesak, lebih bau dari belerang. Pohon-pohon kezaliman telah tumbuh di berbagai sudut.  Kota ini semakin redup, dan semakin redup. Kota pun menangis, dan menjerit dipegang penguasa bertangan kasar dan tajam, lebih dari kaktus. Lisannya tajam, lebih tajam dari pedang yang diasah dan dipanaskan berkali-kali. Kota merintih dalam dinding yang membisu.
Teks di atas mengisahkan tentang sebuh kota yang selalu terdengar rintihan dan jeritan dari masyarakat yang tidak berdaya melihat pemerintah, para penguasa bangsa. Partisipasi teks di atas ialah antara para penguasa dan rakyat jelata. Pesan yang disampaikan dalam teks tersebut ialah ketika semua kebohongan, ketidakadilan telah merajalela. Si miskin makin miskin, makin tersiksa. Si kaya makin kaya, makin Berjaya. Nada yang disampaikan ialah menyala-nyala. Menggunakan bahasa tulis dan tidak resmi. Termasuk dalam jenis narasi.

Tidak ada komentar: