Ajari aku menggunakan tinta. Ajari aku menggunakan pena. Ajari aku memilih kata-kata, akan kutulis serpihan angin, rinai hujan, air yang gemiricik, embun pagi, langit senja, sampai bunga-bunga yang bermekaran.
Sabtu, 08 Oktober 2016
Mulazamah
Adakah yang lebih syahdu ketika mulazamah basah oleh lisan di antara fajar dan senja hingga langit menjadi pekat? Menjadikan atma terasa sejuk. Tempat penyimpan rasa yang ditemani embun, berasal dari pemurnian lantunan kudus. Dan menjadikan lisan terus menenun cinta hingga membentuk selendang yang selalu terbalut. Tak pernah ingin melepaskannya, sebab adanya perekat yang tak ingin kau jauh dari-Nya.
Menghitung Hari
“Menghitung hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”
Malam tadi kau ambil biolamu, tanganmu lihai memainkan dawai.
Suara-suara yang datang pada biolamu, pada jemari lihaimu memainkan
dawainya. Lembut. Aku terus menatap jemarimu, berganti dari satu senar
ke senar lainnya. Menatap lamat-lamat biola yang kau bunyikan. Sambil
aku menikmati alunan suara itu, dan kumenikmatinya. Kau tahu? Aku ingin
meneteskan air mata, sebab yang terekam dalam otakku adalah, “Menghitung
hari, detik demi detik, masa kunanti apa kan ada.”
Itu yang selalu terekam dalam memoriku. Apakah ada detikku, waktuku?
Apakah ada masaku nanti? Waktu aku mampu menjadikan segala raga dan
pikiranku untuk memperbaiki sesuatu yang hampir rapuh. Apakah Dia
mengizinkan detikku untuk terus bersujud. Melangitkan doa dan harapan
hanya pada-Nya? Apakah ada masaku agar langkahku tetap menyusuri jalan
panjang, meski terjal. Dan aku pun tak tahu di mana aku harus menetap
pada tempat abadi. Apakah ada waktuku untuk meruangkan segala
nikmat-Nya, yang seringkali aku abaikan? Apakah ada tempoku untuk
menjadikan cinta-Nya lebih layak menjadi cinta sebenar-benarnya cinta?
Kau masih terus menggerakkan jemarimu. Mataku tertuju pada biolamu.
Pendengaran dan nuraniku berputar pada lagu itu. Aku tak pernah tahu di
mana hariku akan datang. Aku hanya takut, bahkan seperti ada yang
mencungkil rasa yang terbaca oleh hati. Masaku nanti, entah kapan dan
bagaimana. Aku hanya ingin, jika detikku datang aku mampu menebarkan
cinta. Jika tidak bisa menebarkan cinta, biarlah melenyapkan kebohongan,
kebisuan, dan kealpaan yang tercipta dari diriku.
Ruang Hampa,
Jakarta, 17 September 2016
Jagalah
"Jagalah ibumu, sebab nanti ketika ibu pergi tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan ibu."
Oh Bu, percakapan di antara kita beberapa waktu yang lalu membuat tulang-tulangku seperti patah. Satu persatu, perlahan dan begitu memilukan.
Oh Bu, percakapan di antara kita beberapa waktu yang lalu membuat tulang-tulangku seperti patah. Satu persatu, perlahan dan begitu memilukan.
Aku ingin menjagamu sebagaimana
engkau menjagaku. Aku tidak bisa selalu menjadi yang engkau inginkan.
Aku belum juga bisa menjadi yang engkau harapkan. Barangkali aku terlalu
sering membuatmu kecewa. Bu, dunia memang terkadang kejam tapi Allah
tak pernah membiarkan kita terlepas dari penjagaan-Nya.
Bibirmu
adalah doa-doa yang tak pernah henti menari. Dan kita berada di danau
permai. Lantas kita menyaksikan angsa-angsa yang memenuhi danau.
Renungan
“Waidza saalaka i'badi ‘anni fa'inni qoribun ujibu da'watad daa'i idza da'aan…”
Suatu hari kau hanya ingin membiarkan tanaman harapanmu di dekat bukit-bukit itu tumbuh. Merawatnya, dan menjaganya. Kau pun bebas melakukan apapun yang membuat kau tenang dari hiruk pikuknya dunia, kota-kota yang berdiri tegak.
Kau hanya ingin pergi ke sana. Menuju bukit, lantas angin-angin membisikkan syahdu ke dalam telingamu hingga kau merasakan dingin yang menjalar ke tulang bahkan aliran darahmu. Tempat di mana kau bisa lebih dekat dengan Allah, sebab kau telah mendekat pada ciptaan-Nya. Di sana kau susun doa-doa hingga membentuk bangunan permai, tempat kau berteduh pada-Nya
Perempuan yang Dilindungi Lebah dan Hanyut Karena Hujan
Hari itu perang Uhud begitu menyala dan membakar
gelora pasukan kafir Quraisy. Bukan hanya dari kaum pria saja, dari kaum
wanita Quraisy pun memuncak darahnya. Bersorak-sorai ingin membalas dendam atas
apa yang terjadi pada Perang Badar.
Di Perang Uhud, ketika pertempuran hampir saja usai,
para perempuan Quraisy sangat girang, berlompatan, sambil bersorak-sorai.
Aduhai, entah hati apa yang tersimpan dalam tubuh mereka. Ketika melihat kaum
Muslimin terbunuh, perut-perut kaummuslimin dibelah, matanya dicongkel, bahkan
mata dan telinganya pun dipotong. Adakah yang lebih menakutkan dan menjijikan
dari hal itu?
Suasana semakin mencekam dan menegangkan, ketika
Sulafah binti Sa’ad bin Syahid menyimpan dendam kepada salah satu perempuan
Muslim yang pada waktu perang Uhud telah membunuh suami dan anaknya. Sulafah
bahkan bersumpah ingin meminum darah dari tempurung kepala perempuan yang telah
membunuh suami dan anaknya.
Sampai pada akhirnya perempuan yang sangat dibenci
Sulafah keadaannya sangat rapuh, lembingnya patah dan perempuan tersebut pun
roboh penuh luka. Namun, sebelum ia mati syahid ia berdoa dengan penuh harapan,
dengan napas terengah-engah, “Ya Allah, sampaikanlah berita kepada Rasulullah.
Ya Allah aku telah mengorbankan diriku di jalan-Mu yang benar. Maka selamatkanlah
kepalaku dari tangan orang kafir itu.”
Allah Maha menepati janji-Nya. Ketika kaum Hudzali,
ialah kaum yang dibayar kaum Quraisy untuk mendapatkan kepala Ashim, Allah
melindungi tubuh Ashim dengan mengirimkan sekelompok lebah sehingga mereka
tidak bisa mengenali Ashim dan memenggal kepala Ashim. Lalu malam harinya
Allah mengirimkan hujan deras yang menimbulkan banjir sehingga jasad Ashim
terhanyut oleh derasnya banjir dan kaum kafir tidak bisa menemukan Ashim.
Siapa Aku?
Tuhanku,
Siapa aku?
seringkali aku datang
kepada-Mu
dengan wajah yang aku
pun tak memahami
Engkau selalu
mengenalku, tetapi aku yang sering lupa mengenal diriku
Tuhanku,
Aku sesekali menjadi
asing
Tak menghafal siapa
diriku,
Tetapi Engkau selalu
hafal wujud dan batinku.
23
Juli 2016
Resahku pada Rintihan Zaman
Illahi Rabbi,
Inilah hampaku,
Di kerumunan zaman
di tengah zaman yang
merintih, ringkih
Illahi Rabbi,
Kadang kala cemas
merobek-robek tenangku,
yang
datang dan pergi, datang kembali
Illahi
Rabbi,
di
masa yang paling mendustai
di
manakah aku?
Adakah
di pelukan-Mu?
Ataukah
aku berada pada:
kesunyian
yang terpejam pada-Mu; bertafakur
aku
menjerit
hingga
tak berdaya
patah
karena ulah sendiri
di
babak resahku.
Juli
2016
Mengais Cinta-Mu
Allahku,
Aku selalu tarjaga pada
tidurku, dalam dekapan-Mu
Engkau senantiasa
berfirman dengan cinta-Mu
Engkau seringkali
memeluk kasih dengan enigma-Mu
Pusatkan segala ragaku
di ruang kosong,
Agar seluruh tubuhku,
Agar menggigil karena
pelukan-Mu
Biar alam mendengar
Dan malaikat-malaikat
mengaminkan
Jangan tutup pintu-Mu,
Jangan padamkan
cahaya-Mu
Bisikkan kata-kata
padaku
Agar tersentak sukmaku
yang telah lama tertipu
bayang dunia
Allah,
Getarkan sujud
panjangku
Agar hanya kepada-Mu
aku kembali
Agar kepada-Mu aku
menangis
Merintih, dan mengais
kasih sayang-Mu selalu.
Juli
2016
Rindu yang Tak Terbilang: Rasulullah
Aku
rindu,
dan
rindu ini telah kusulam dari lonceng nuraniku,
dan
kurapal doa yang terjaga,
Rindu
yang entah kapan akan membuatku merasa jatuh dalam taman ketenangan,
kerinduan
yang tak berujung,
selalu
menciptakan bayang-bayang,
bahkan
meninggalkan jejak pada lorong,
terpendam
pada jiwa yang merekat
Aku
ingin engkau menyapaku,
lantas
aku menjawab,
aku
ingin menjadi bagian dari dirimu,
dan
engkau menjadi bagian dari diriku,
Aku
rindu pada setiap rajutan kata yang terucap dari lisanmu,
pada
akhlak yang kau bungkus dengan cahaya,
aku
rindu padamu, ya Rasulullah.
15 Juli 2016
Langganan:
Postingan (Atom)